Al-Qur’an, dan Hadist pedoman hidupku sebagai muslim Serta ijtihad
A. Memahami Al-Qurān, Hadis, dan Ijtihād
sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Qur'an Hadist pedoman hidupku dan ijtihad |
Sumber hukum Islam merupakan suatu
rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Ia
menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau
berpatokan kepadanya.
Ia menjadi pangkal dan tempat kembalinya
segala sesuatu. Ia juga menjadi pusat tempat mengalirnya sesuatu. Oleh karena
itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat
dinamis, benar, dan mutlak.
Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat
berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān
mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang yang
sebenarnya. Mutlak artinya al-Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya
serta tidak akan terbantahkan.
Adapun yang menjadi sumber hukum Islam
yaitu: al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihād.
Al-Qur’anul Karim
1. Pengertian al-Qur’ān
Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal
dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan– qur’ānan, yang berarti sesuatu
yang dibaca atau bacaan.
Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab,
yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam mushaf,
dimulai dengan surah al-Fātihah dan diakhiri dengan surah an-Nās,
membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.
dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia.
Allah Swt. berfirman:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ
الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا
كَبِيرًا
Artinya: “Sungguh, al-Qur’ān ini memberi
petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang
mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang
besar.” (Q.S. al-Isrā/17:9)
2. Kedudukan al-Qur’ān sebagai
Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki
kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber utama dan pertama sehingga
semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’ān) dan Rasu-Nyal
(sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisā’/4:59)
Dalam ayat yang lain Allah Swt.
menyatakan:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan
Kitab (al-Qur’ān) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili
antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah
engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang
berkhianat.” (Q.S. an-Nisā’/4:105)
Dalam sebuah hadis yang bersumber dari
Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
Hadist tentang Al-Qur'an dan hadist pedoman hidupku |
Artinya: “... Amma ba’du wahai sekalian
manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan
saya tinggalkan bagi kalian semua dua perkara utama/besar, yang pertama adalah
kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka
ikutilah kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R.
Muslim)
Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas,
jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman.
Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik
dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian,
hukum- hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat
rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu
pemahaman mendalam untuk memahaminya.
3. Kandungan Hukum dalam al-Qur’ān
Para ulama mengelompokkan hukum yang
terdapat dalam al-Qur’ān ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan
yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap
hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānu ³mān), yaitu
iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar
Allah Swt.
b. Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara
ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta) yaitu
Allah Swt. yang disebut dengan ‘ibadah mahdah, maupun yang berhubungan
dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu mahdah. Ilmu
yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya
melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung
perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa dan lain
sebagainya.
2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengatur interaksi antara
manusia dengan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum
pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.
c. Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang akidah
dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān
menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik
akhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk
Allah Swt. yang lain.
Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam
hubungan antara manusia dengan Allah Swt.– hubungan manusia dengan manusia –
dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep
perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan
kaki.
Hadis atau Sunnah
1. Pengertian Hadis atau Sunnah
Secara bahasa hadis berarti perkataan
atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan
ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga
dinamakan sunnah.
Namun demikian, ulama hadis membedakan
hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw.,
sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
yang menjadi sumber hukum Islam.
Hadis dalam arti perkataan atau ucapan
Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama
lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
a. Sanad, yaitu sekelompok orang
atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita
sekarang.
b. Matan, yaitu isi atau materi
hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
c. Rawi, adalah orang yang
meriwayatkan hadis.
2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai
Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada
satu tingkat di bawah al-Qur’ān. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak
terdapat di dalam al-Qur’ān, yang harus dijadikan sandaran berikutnya
adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : “... dan apa-apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (Q.S. al-Hasyr/59:7)
Demikian pula firman Allah Swt. dalam
ayat yang lain:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul
(Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa
berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk
menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80)
Nah, kamu sudah paham, bukan, tentang
peran penting hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’ān?
Sekarang mari kita lihat kedudukan hadis terhadap sumber hukum Islam pertama
yaitu al-Qur’ān.
3. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān
Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah
Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān
kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan)
serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.
Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang
masih bersifat umum
Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang
memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih
bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang śalat,
baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya.
Untuk menjelaskan perintah śalat tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis
yang berbunyi, “Śalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R.
Bukhari)
b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān
Seperti dalam al-Qur’ān terdapat
ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka
berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi,
“... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat
Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan,
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya
di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!”
Ayat ini dijelaskan oleh hadis
yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi
baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
d. Menetapkan hukum baru yang tidak
terdapat dalam al-Qur’ān Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak
terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang
sesuai.
Misalnya, bagaimana hukumnya
seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Maka hal tersebut
dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw : Artinya: “Dari Abi Hurairah
ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang
mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari
ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R.
Bukhari)
4. Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari segi perawinya,
hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a. Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun
generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta.
Contohnya adalah hadis yang berbunyi:
Hadist berdusta atas nama nabi |
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka
tempatnya adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim)
b. Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau
lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar
dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in sehingga tidak mungkin
bersepakat dusta.
Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya,
“Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan
lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)
c. Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang hanya
diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga tidak mencapai
derajat mutawattir.
Dilihat dari segi kualitas orang yang
meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian berikut.
1) Hadis Śahih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya,
sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak
bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan
sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
2) Hadis hasan, adalah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya
bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śahih,
hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
3) Hadis daif, yaitu hadis yang
tidak memenuhi kualitas hadis sahih dan hadis hasan. Para ulama
mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tetapi
dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
4) Hadis Maudhu’, yaitu hadis yang
bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis
padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan
hukum, hadis ini tertolak.
Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan
Hadis
1. Pengertian Ijtihād
Kata ijtihād berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan
yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga,
atau bekerja secara optimal.
Secara istilah, ijtihād adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād
dinamakan mujtahid.
2. Syarat-Syarat berijtihād
Karena ijtihād sangat bergantung
pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād
antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya.
Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād dan
menghasilkan hukum yang tepat.
Berikut beberapa syarat yang harus
dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād.
a. Memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam.
b. Memiliki pemahaman mendalam tentang
bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah).
c. Memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
d. Memiliki keluhuran akhlak mulia.
3. Kedudukan Ijtihād
Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum
Islam setelah al-Qur’ān dan hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu
persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis.
Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw.:
Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi
Muhammad saw. Ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan
memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan
menurut Kitabullah (al-Qur’ān).”
Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam
Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab,
“Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.”
Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika
engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya
akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikitpun.”
Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah
Swt. Yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui
Rasul-Nya.” (H.R.
Darami)
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa
seorang yang berijtihād sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihādnya
benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihādnya itu
salah maka ia mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah
hadis:
Artinya: “Dari Amr bin Aś, sesungguhnya
Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihād dalam memutuskan
suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan
apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu
pahala.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
4. Bentuk-bentuk Ijtihād
Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam
menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.
a. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam
memutuskan Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam
memutuskan suatu perkara atau hukum.
Contoh ijma’ di masa sahabat
adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran
terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur’ān yang seperti kita saksikan
sekarang ini.
b. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah
baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah
terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya.
Contoh qiyas adalah mengharamkan
hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi
miring, vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter
dengan khamr, yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan,
sebagaimana firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi
nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)
c. Maślahah Mursalah
Maślahah mursalah artinya penetapan hukum yang
menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal
terhadap syari’at Islam. Misalkan seseorang wajib mengganti atau
membayar kerugaian atas kerugian kepada
pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam
Para ulama membagi hukum Islam ke dalam
dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i.
Hukum taklifi adalah tuntunan
Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah
perintah Allah Swt. Yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya
sesuatu.
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi ke dalam
lima bagian, seperti berikut.
a. Wajib (fardu), yaitu aturan
Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan
mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa.
Pahala adalah sesuatu yang akan membawa
seseorang kepada kenikmatan (surga). Sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan
membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya perintah wajib śalat,
puasa, zakat, haji dan sebagainya.
b. Sunnah (mandub), yaitu
tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan
akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya
tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan
sebagainya.
c. Haram (tahrim), yaitu larangan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika
larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan,
akan mendapatkan dosa dan hukuman.
Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan
larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya
larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan
berjudi dan sebagainya.
d. Makruh (Karahah), yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang
dibenci atau tidak disukai.
Konsekuensi hukum ini adalah jika
dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan
pahala. Misalnya adalah mengonsumsi
makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya.
e. Mubah (al-Ibahah), yaitu
sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh
untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan
berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum
susu, tidur di kasur, dan sebagainya.
Menerapkan Perilaku Mulia
Perilaku mulia dari pemahaman
terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād sebagai sumber hukum Islam
tergambar dalam aktivitas sebagai berikut.
1. Gemar membaca dan
mempelajari al-Qur’ān dan hadis baik ketika sedang sibuk ataupun santai.
2. Berusaha sekuat tenaga
untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis.
3. Selalu mengonfirmasi
segala persoalan yang dihadapi dengan merujuk kepada al-Qur’ān dan
hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang ahli di
bidangnya.
4. Mencintai orang-orang yang
senantiasa berusaha mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan
Sunnah.
5. Kritis terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya agar tidak
keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
6. Membiasakan diri berpikir
secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’ān dan hadis.
7. Aktif bertanya dan berdiskusi dengan
orang-orang yang dianggap memiliki keahlian agama dan berakhlak mulia.
8. Berhati-hati dalam bertindak dan
melaksanakan sesuatu, apakah boleh dikerjakan ataukah ditinggalkan.
9. Selalu berusaha keras untuk
mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan menjauhi segala larangan.
10. Membiasakan diri untuk mengerjakan
ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir
belum sempurna.
Rangkuman
1. Al-Qur’ān adalah kalam Allah
Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril
dan diajarkan kepada umatnya, dan membacanya merupakan ibadah.
2. Hadis atau sunnah adalah segala ucapan
atau perkataan, perbuatan, serta ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad saw.
yang terlepas dari hawa nafsu dan perkara-perkara tercela.
3. Al-Qur’ān adalah sumber hukum
utama selain sebagai kitab suci. Oleh karena itu, semua ketentuan hukum yang
berlaku tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.
4. Hadis merupakan sumber hukum kedua
setelah al-Qur’ān. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat
penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadis, yaitu untuk menegaskan
ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’ān, menjelaskan ayat al-Qurān (bayan
tafsir), dan menjelaskan ayat-ayat al-Qurān yang bersifat umum (bayan
takhśiś).
5. Ijtihād artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Ijtihād yaitu
upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan akal untuk mendapatkan
hukum-hukum syari’at pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya.
Ijtihād dilakukan dengan mencurahkan kemampuan
untuk mendapatkan hukum syara’ atau ketentuan hukum yang bersifat
operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada
dalam al-Qur’ān dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
6. Bersikap rasional, kritis, dan logis
dalam beragama berarti selalu menanyakan landasan dan dasar (dalil) atas
setiap amalan keagamaan yang dilakukan.
Dengan cara ini seseorang akan dapat
terbebas dari taqlid. Lawan taqlid adalah ittiba’, yaitu
melaksanakan amalan-amalan keagamaan dengan mengetahui landasan dan dasarnya
(dalil).
7. Merealisasikan dan menerapkan
hukum-hukum Islam dalam kehidupan akan membawa manfaat besar bagi manusia.
Semua aturan atau hukum yang bersumber dari Allah Swt. dan Rasul-Nya merupakan
suatu aturan yang dapat membawa kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Demikan Al-Qur’an, Hadist pedoman hidup
Muslim Serta ijtihad, semoga dapat
bermanfaat, wassalam
Sumber :
Buku Diknas Pendidikan Agama islam dan
budi pekerti K-13 SMA/MA/SMK Kelas X