Iklan

Saturday, 11 March 2017

Hadist Arba'in ke 12



Hadist Arbain ke 12 meninggalkan sesuatu yang tidak berbermanfaat

Hal yang tidak berguna atau bermanfaat kadang menyibukan seseorang dalam kesehariannya sehingga membuatnya lalai dari mengingat Allah untuk beribadah dan berbuat baik untuk dirinya sendiri yang  tanpa disadarinya dan ia akan tersadar manakala usia bertambah tua sementara amal ibadah sangat sedikit, untuk itu rasul Muhammad saw mengingatkan dalam hadistnya tentang tanda orang beriman salah satunya adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat  

 
Hadist arbain ke 14 tentang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat

Dari Abu Hurairoh rodhiallohu ‘anhu, dia berkata: “Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sebagian tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan Tirmidzi dan lainnya)

Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan landasan dalam bab adab.

Kebagusan Islam Seseorang
Kebagusan Islam seseorang bertingkat-tingkat. Cukuplah seseorang berpredikat bagus Islamnya jika telah melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram. Dan puncak kebagusannya jika sampai derajat ihsan, yang tersebut dalam hadits ke-dua. Besarnya pahala dan tingginya kemuliaan seseorang sesuai dengan kadar kebagusan Islamnya.

Meninggalkan Sesuatu Yang Tidak Penting
Sesuatu yang penting adalah sesuatu yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat. Standar manfaat diukur oleh syariat, karena sudah maklum bahwa yang diperintahkan oleh syariat pasti membawa manfaat dan yang dilarang pasti menimbulkan mudhorot oleh karena itu upaya untuk paham syariat adalah aktivitas yang sangat bermanfaat. Menjadi kewajiban seseorang demi kebagusan Islamnya untuk meninggalkan semua yang tidak penting karena semua aktivitas hamba akan dicatat dan celakalah seseorang yang memenuhi catatannya dengan sesuatu yang tidak penting, termasuk di dalamnya adalah semua bentuk kemaksiatan.

Hidup didunia sangat sementara dan waktu tidak pernah kemabali bahkan berhenti walau sedetikpun tidak pernah terjadi, hidup didunia ibarat orang yang bercocok tanam sedang buah yang akan didapat sebagian sangat kecil dapat dipetik didunia sebagai penyangga tulang agar dapat tegak dan bergerak selebihnya akan rusak dan binasa.

Sedang sebagian besarnya akan  dipetik diakhirat, ibarat air lautan yang luas, apa yang kita petik didunia seperti jari tangan yang dicelupkan kedalam lautan dan ketika tangan diangkat kepermukaan aka nada air yang menetes dan itulah air yang menetes adalah buah yang kita petik didunia dan air lautan yang luas adalah buah yang kita petik diakhirat kelak.

Sungguh rugi orang yang banyak berbuat namun tidak bermanfaat buat akhirat dan sungguh beruntung orang yang berbuat bermanfaat buat akhirat karena pasti bermanfaat juga buat kehidupan duniannya, maka wajar bila rasul bersabda demikan bahwa ciri orang adalah yang meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat.       

Sumber:
Hadist web, www.islamhouse.com
 Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)

Thursday, 23 February 2017

Hadist Arbain Ke 11 : Meninggalkan yang meragukan



Hadist Arbain ke 11 meninggalkan yang meragukan


Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abu Tholib, cucu Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangan beliau rodhiallohu ‘anhuma, dia berkata: ”Aku telah hafal (sabda) dari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i. Tirmidzi berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)

Kedudukan Hadits
Kedudukan hadits ini seperti kedudukan hadits ke enam  Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah). (lihat hadits ke-1)

Tinggalkan Sesuatu Yang Meragukan
Keraguan terhadap suatu perkara terjadi karena adanya faktor ketidak yakinan seseorang terhadap suatu persoalan yang akan dilakukannya apakah perkara tersebut benar atau salah, baik atau buruk, halal atau haram  sehingga membuatnya bingung serta merasa serba salah disisi lain dia ingin melakukannya karena terdorong oleh adanya kenuntungan secara material atau secara moril namun disisi lain ada kekawatiran akan resiko atau akibat yang ditimbulnya.

Sesuatu yang meragukan adalah sesuatu yang membuat tidak tenang dan memunculkan rasa khawatir, jikalau ternyata hal itu tidak boleh dilakukan. Jika kita menghadapi kondisi demikian maka tinggalkanlah yang meragukan tersebut dan lakukan sesuatu yang meyakinkan atau yang membuat tenang. Adalah termasuk perbuatan tercela jika ada keraguan akan tetapi tetap dikerjakan.

Faktor utama dari keraguan adalah karena ketidak tahuan hakikat dari suatu persoalan yang dihadapinya karena itu solusinya adalah dengan bertanya kepada yang mengerti akan persoalan tersebut, namun bila masih belum mendapatkan jawaban yang benar sesuai dengan AlQur’an dan sunah maka jalan terbaik dari masalah ini adalah meninggalkannya.  Karena bila kita tidak meninggalkannya maka akan terombang ambing dalam ketidak pastian yang akan menimbulkan keresahan dalam jiwa.

Perkara yang meragukan adalah merupakan perkara yang Mutasyabihat

Musytabihat
Musytabihat adalah segala sesuatu yang belum diketahui secara jelas hukumnya, apakah termasuk halal atau termasuk haram. Mustabihat sifatnya nisbi, artinya ketidakjelasan tersebut terjadi pada sebagian orang dan tidak pada semua orang. Dengan demikian tidak ada satu pun sesuatu yang mustabihat secara mutlak, dimana semua orang tidak mengetahui kejelasan hukumnya.

Musytabihat dapat terjadi dalam 2 keadaan sebagai berikut:
1. Ketika para ulama tawakuf tentang hukum suatu masalah.
2. Ketika seseorang yang bukan ulama merasa tidak mengetahui secara jelas tentang hukum suatu masalah.
Dalam kedua keadaan tersebut semestinya seseorang tidak melangkah sehingga perkaranya sudah jelas, baik tatkala ulamanya sudah tidak tawakuf lagi atau sudah menanyakan kepada ahlinya.


Sumber:
Hadist web, www.islamhouse.com
 Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)


Tuesday, 21 February 2017

Hadits Arbain Ke-10 Makanan Haram Penyebab Do’a tertolak



Hadits Arbain Ke-10 Menjaga Makanan dari yang Haram Penyebab Do’a tertolak

Hadist Arbain ke 10, Menjaga makanan dari yang haram
Dari Abu Hurairoh rodhiallohu ‘anhu, ia berkata: “Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Alloh itu baik, tidak mau menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Alloh telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rosul, Alloh berfirman, “Wahai para Rosul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal sholih” (QS Al Mukminun: 51). Dan Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu” (QS Al Baqoroh: 172). Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Robbku, wahai Robbku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan do’anya.” (HR. Muslim)

Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan salah satu ashlud din (pokok agama), di mana kebanyakan hukum syariat berporos pada hadits tersebut.

Alloh Itu Thoyyib Tidak Menerima Kecuali Yang Thoyyib
Thoyyib adalah suci, tidak ada kekurangan dan cela. Demikian juga Alloh, Dia itu thoyyib. Dia suci, tidak ada kekurangan dan cela pada diri-Nya. Dia sempurna dalam seluruh sisi.
Alloh tidak menerima sesuatu kecuali yang thoyyib. Thoyyib dalam aqidah, thoyyib dalam perkataan dan thoyyib dalam perbuatan. Tidak menerima artinya tidak ridho, atau tidak memberi pahala. Dan ketidakridhoan Alloh terhadap sebuah amal biasanya melazimkan tidak memberi pahala pada amalan tersebut.

Pengaruh Makanan Yang Thoyyib
Mengonsumsi sesuatu yang thoyyib merupakan karakteristik para rasul dan kaum mukminin. Makanan yang thoyyib sangat berpengaruh terhadap kebagusan ibadah, terkabulnya doa dan diterimanya amal.

Sebab-Sebab Terkabulnya Doa
Dalam haidst tersebut jelas rasul menggambarkan bagaimana seorang musyafir berdo’a “seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Robbku, wahai Robbku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan do’anya.”  Dari hadist ini dapat kita fahami bahwa adab berdo’a yang dapat dikabulkan diantaranya :

1.      Musafir
Yaitu seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dijalan Allah bukan untuk maksiat yang sangat mengharapkan pertolangan dan kemurahan Allah swt, juga?, tentu saja bila kita merasa hidup didunia ini adalah seperti orang yang sedang melakukan perjalanan menuju akhirat dan hanya mengharap keridhaan Allah swt saja.

2.      Berpenampilan hina.
Berpenampilan hina adalah salah satu tanda seorang hamba miskin dan membutuhkan pertolongan,  ini isyarat saja bukan segi penampilan yang hina tapi lebih utama adalah perasaan yang hina yang miskin yang betul-betul membutuhkan, dengan sifat tawadhu berrendah dihadapan Allah swt, sedangkan penampilan yang disukai Allah adalah yang bersih dan suci serta wangi rafih sebagaimana kita diperintahkan dalam sholat.  

3.      Mengangkat kedua tangan. 
      Mengangkat kedua tangan dalam berdo’a tidak ada larangan walau demikan kebiasaan nabi setiap selesai sholat fardu tidak mengangkat kedua tangannya, tetapi dibanyak hadist yang dinilai dhaif oleh ulama ahli hadist disebutkan bahwa Allah akan merasa malu bila ada orang yang berdo’a dengan mengangkat tangan tidak dikabulkannya sebelum diturunkan tangannya tersebut, Sifat mengangkat tangan dalam doa:
1.      Mengisyaratkan dengan telunjuk, yaitu bagi khatib tatkala berdoa di atas mimbar.
2.      Mengangkat tangan tinggi-tinggi, yaitu ketika doa istisqo’.
 
4.      Mengulang-ulang doa. A
Mengulang-ulang do’a dan yakin akan dikabulkan  merupakan sikap yang sabar dan berbaik sangka karena Allah tidak bosan mendengar permintaan dan rintihan dari hambannya dalam berdo’a kecuali hamabanya tersebut yang bosan meminta padahal setiap do’a mendapat pahala dan do’a yang diulang-ulang hanya akan menambah kebaikan  bagi pelakunya saja. 
  
5.      Menyebut Rububiyah Alloh.
Menyebut atau memanggil nama Allah pada saat berdo’a dengan menggunakan kata Ya Allah,  Ya Rabb,  Ya Rabbi atau ya Rabbanaa,  merupakan  bagian dari etika atau adab dari berdo’a,  yang diajarkan Allah dalam Al-Qur’an atau  Nabi saw dalam Hadist karena itu sebagai penguat dari tujuan kita meminta yaitu kepada Allah swt bukan  kepada yang lain, juga diperkenankan dengan menggunakan nama asmaul husna lainnya seperti Ya Rozak, ya fatah dll.     

6.      Mengonsumsi yang halal.
Apa yang kita makan, minum sebagiannya akan menjadi daging dan darah yang mengalir keseluruh tubuh sedangkan sisanya akan dikeluarkan atau di buang, karenannya wajar bila orang yang mengkonsumsi atau menggunakan barang-yang haram tidak dikabulkan do’anya oleh Allah swt karena Allah maha suci lagi bersih dan hanya akan menerima yang suci atau bersih saja, penting buat kita untuk menjaga kehalalan dari yang kita konsumsi atau kita gunakan agar setiap do’a kita dikabulkan.




Sumber:
Hadist web, www.islamhouse.com
 Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)