Hadist Arbain ke 11 meninggalkan yang meragukan |
Dari Abu
Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abu Tholib, cucu Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa
sallam dan kesayangan beliau rodhiallohu ‘anhuma, dia berkata: ”Aku telah hafal
(sabda) dari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam: “Tinggalkanlah sesuatu
yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi dan
Nasa’i. Tirmidzi berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
Kedudukan
Hadits
Kedudukan
hadits ini seperti kedudukan hadits ke enam Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga
hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits
Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan
bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram
tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan
harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah). (lihat hadits ke-1)
Tinggalkan
Sesuatu Yang Meragukan
Keraguan terhadap
suatu perkara terjadi karena adanya faktor ketidak yakinan seseorang terhadap
suatu persoalan yang akan dilakukannya apakah perkara tersebut benar atau salah,
baik atau buruk, halal atau haram sehingga membuatnya bingung serta merasa serba
salah disisi lain dia ingin melakukannya karena terdorong oleh adanya
kenuntungan secara material atau secara moril namun disisi lain ada kekawatiran
akan resiko atau akibat yang ditimbulnya.
Sesuatu yang
meragukan adalah sesuatu yang membuat tidak tenang dan memunculkan rasa
khawatir, jikalau ternyata hal itu tidak boleh dilakukan. Jika kita menghadapi
kondisi demikian maka tinggalkanlah yang meragukan tersebut dan lakukan sesuatu
yang meyakinkan atau yang membuat tenang. Adalah termasuk perbuatan tercela
jika ada keraguan akan tetapi tetap dikerjakan.
Faktor utama dari keraguan adalah karena ketidak tahuan
hakikat dari suatu persoalan yang dihadapinya karena itu solusinya adalah
dengan bertanya kepada yang mengerti akan persoalan tersebut, namun bila masih
belum mendapatkan jawaban yang benar sesuai dengan AlQur’an dan sunah maka
jalan terbaik dari masalah ini adalah meninggalkannya. Karena bila kita tidak meninggalkannya maka
akan terombang ambing dalam ketidak pastian yang akan menimbulkan keresahan
dalam jiwa.
Perkara yang
meragukan adalah merupakan perkara yang Mutasyabihat
Musytabihat
Musytabihat adalah segala sesuatu yang belum diketahui secara jelas hukumnya, apakah termasuk halal atau termasuk haram. Mustabihat sifatnya nisbi, artinya ketidakjelasan tersebut terjadi pada sebagian orang dan tidak pada semua orang. Dengan demikian tidak ada satu pun sesuatu yang mustabihat secara mutlak, dimana semua orang tidak mengetahui kejelasan hukumnya.
Musytabihat adalah segala sesuatu yang belum diketahui secara jelas hukumnya, apakah termasuk halal atau termasuk haram. Mustabihat sifatnya nisbi, artinya ketidakjelasan tersebut terjadi pada sebagian orang dan tidak pada semua orang. Dengan demikian tidak ada satu pun sesuatu yang mustabihat secara mutlak, dimana semua orang tidak mengetahui kejelasan hukumnya.
Musytabihat dapat terjadi dalam 2 keadaan sebagai
berikut:
1. Ketika para ulama tawakuf tentang hukum suatu masalah.
2. Ketika seseorang yang bukan ulama merasa tidak mengetahui secara jelas tentang hukum suatu masalah.
1. Ketika para ulama tawakuf tentang hukum suatu masalah.
2. Ketika seseorang yang bukan ulama merasa tidak mengetahui secara jelas tentang hukum suatu masalah.
Dalam kedua keadaan tersebut
semestinya seseorang tidak melangkah sehingga perkaranya sudah jelas, baik
tatkala ulamanya sudah tidak tawakuf lagi atau sudah menanyakan kepada ahlinya.
Sumber:
Hadist web,
www.islamhouse.com
Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh
Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa
Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)