Iklan

Thursday, 23 March 2017

Arbain 13 Mencintai saudara sesama muslim



Hadits Arbain Ke-13 Mencintai saudara sesama muslim

Hadist Arbain 13 Mencintai sesama Muslim

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu pelayan Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai bagi saudaranya (sesama muslim) segala sesuatu yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hakikat Penafian Iman
Penafian iman mencakup menafikan iman secara keseluruhan atau hanya menafikan kesempurnaan imannya. Suatu amalan yang menyebabkan pelakunya dinafikan imannya menunjukkan bahwa amalan tersebut merupakan amal kekafiran atau dosa besar. Dalam hadits ini penafian iman yang dimaksud adalah penafian atas kesempurnaan iman.

Mencintai Saudara Muslim Laksana Mencintai Diri Sendiri
Seorang muslim wajib merasa senang jika saudaranya memiliki agama yang baik. Dia senang jika saudaranya memiliki aqidah yang benar, tutur kata yang bagus dan perbuatan yang baik. Sebaliknya dia merasa benci jika keadaan saudaranya tersebut justru sebaliknya. Seorang muslim disunahkan untuk senang jika saudaranya mendapatkan kebaikan-kebaikan duniawi. Dia merasa senang jika saudaranya berharta, sejahtera, sehat, berkedudukan dan lain-lain dari kenikmatan duniawi, dan dia tidak senang jika saudaranya miskin, sengsara, dan menderita.

Kecintaan seorang muslim kepada saudaranya muslim lainnya diibaratakan seperti tubuh yang satu sehingga bila ada anggota tubuh yang sakit maka tubuh yang lainpun akan merasakan sakitnya.

Persaudaraan seorang muslim diikat oleh ikatan Aqidah hanya karena Allah bukan karena nasab atau seketurunan atau juga suku bangsa bahkan materi atau harta sehingga tidak membeda-bedakan dari suku, ras, bangsa atau golongan  apapun  atau dari belahan dunia mananpun   dan tidak memandang rupa,  warna kulit, kekayaan atau jabatan karena dalam pandangn Allah semuanya sama dan yang membedakannya tidak lain adalah iman dan taqwanya.

Inilah persaudaraan yang sebenarnya untuk saling tolong menolong dan bantu membantu juga saling menasihati dalam kebikan dan ketaqwaan dan tidak membiarkan saudaranya terjerumus kedalam perbuatan dosa,  penderitaan penyakit dan kegetiran hidup, kekurangan, kemiskinan harta,  keterbelakang pendidikan seorang diri sementara yang lain hidup dalam serba penuh kenikmatan dan kesejahteraan.
   
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinay “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Qs. Al-hujurot (49):10)

Mendahulukan Kepentingan Saudara Muslim

Jika dalam urusan dunia, mendahulukan kepentingan saudaranya termasuk perbuatan yang terpuji dan disunahkan selama tidak merusak diri sendiri, namun jika dalam urusan akhirat, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada kita  untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan taqwa sehingga mendahulukan saudaranya untuk berbuat amalan akhirat termasuk perbuatan yang makruh karena Allah membenci kepada orang yang hanya mengatakan atau memerintahkan dan menyuruh orang lain tetapi dia melupakan dirinya sendiri.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

Artinya ; 2.Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (3).Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.(Qs. As-Shaff (61) : 2-3)


Sumber:
Hadist web, www.islamhouse.com
 Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)



Saturday, 11 March 2017

Hadist Arba'in ke 12



Hadist Arbain ke 12 meninggalkan sesuatu yang tidak berbermanfaat

Hal yang tidak berguna atau bermanfaat kadang menyibukan seseorang dalam kesehariannya sehingga membuatnya lalai dari mengingat Allah untuk beribadah dan berbuat baik untuk dirinya sendiri yang  tanpa disadarinya dan ia akan tersadar manakala usia bertambah tua sementara amal ibadah sangat sedikit, untuk itu rasul Muhammad saw mengingatkan dalam hadistnya tentang tanda orang beriman salah satunya adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat  

 
Hadist arbain ke 14 tentang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat

Dari Abu Hurairoh rodhiallohu ‘anhu, dia berkata: “Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sebagian tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan Tirmidzi dan lainnya)

Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan landasan dalam bab adab.

Kebagusan Islam Seseorang
Kebagusan Islam seseorang bertingkat-tingkat. Cukuplah seseorang berpredikat bagus Islamnya jika telah melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram. Dan puncak kebagusannya jika sampai derajat ihsan, yang tersebut dalam hadits ke-dua. Besarnya pahala dan tingginya kemuliaan seseorang sesuai dengan kadar kebagusan Islamnya.

Meninggalkan Sesuatu Yang Tidak Penting
Sesuatu yang penting adalah sesuatu yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat. Standar manfaat diukur oleh syariat, karena sudah maklum bahwa yang diperintahkan oleh syariat pasti membawa manfaat dan yang dilarang pasti menimbulkan mudhorot oleh karena itu upaya untuk paham syariat adalah aktivitas yang sangat bermanfaat. Menjadi kewajiban seseorang demi kebagusan Islamnya untuk meninggalkan semua yang tidak penting karena semua aktivitas hamba akan dicatat dan celakalah seseorang yang memenuhi catatannya dengan sesuatu yang tidak penting, termasuk di dalamnya adalah semua bentuk kemaksiatan.

Hidup didunia sangat sementara dan waktu tidak pernah kemabali bahkan berhenti walau sedetikpun tidak pernah terjadi, hidup didunia ibarat orang yang bercocok tanam sedang buah yang akan didapat sebagian sangat kecil dapat dipetik didunia sebagai penyangga tulang agar dapat tegak dan bergerak selebihnya akan rusak dan binasa.

Sedang sebagian besarnya akan  dipetik diakhirat, ibarat air lautan yang luas, apa yang kita petik didunia seperti jari tangan yang dicelupkan kedalam lautan dan ketika tangan diangkat kepermukaan aka nada air yang menetes dan itulah air yang menetes adalah buah yang kita petik didunia dan air lautan yang luas adalah buah yang kita petik diakhirat kelak.

Sungguh rugi orang yang banyak berbuat namun tidak bermanfaat buat akhirat dan sungguh beruntung orang yang berbuat bermanfaat buat akhirat karena pasti bermanfaat juga buat kehidupan duniannya, maka wajar bila rasul bersabda demikan bahwa ciri orang adalah yang meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat.       

Sumber:
Hadist web, www.islamhouse.com
 Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)

Thursday, 23 February 2017

Hadist Arbain Ke 11 : Meninggalkan yang meragukan



Hadist Arbain ke 11 meninggalkan yang meragukan


Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abu Tholib, cucu Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangan beliau rodhiallohu ‘anhuma, dia berkata: ”Aku telah hafal (sabda) dari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i. Tirmidzi berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)

Kedudukan Hadits
Kedudukan hadits ini seperti kedudukan hadits ke enam  Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah). (lihat hadits ke-1)

Tinggalkan Sesuatu Yang Meragukan
Keraguan terhadap suatu perkara terjadi karena adanya faktor ketidak yakinan seseorang terhadap suatu persoalan yang akan dilakukannya apakah perkara tersebut benar atau salah, baik atau buruk, halal atau haram  sehingga membuatnya bingung serta merasa serba salah disisi lain dia ingin melakukannya karena terdorong oleh adanya kenuntungan secara material atau secara moril namun disisi lain ada kekawatiran akan resiko atau akibat yang ditimbulnya.

Sesuatu yang meragukan adalah sesuatu yang membuat tidak tenang dan memunculkan rasa khawatir, jikalau ternyata hal itu tidak boleh dilakukan. Jika kita menghadapi kondisi demikian maka tinggalkanlah yang meragukan tersebut dan lakukan sesuatu yang meyakinkan atau yang membuat tenang. Adalah termasuk perbuatan tercela jika ada keraguan akan tetapi tetap dikerjakan.

Faktor utama dari keraguan adalah karena ketidak tahuan hakikat dari suatu persoalan yang dihadapinya karena itu solusinya adalah dengan bertanya kepada yang mengerti akan persoalan tersebut, namun bila masih belum mendapatkan jawaban yang benar sesuai dengan AlQur’an dan sunah maka jalan terbaik dari masalah ini adalah meninggalkannya.  Karena bila kita tidak meninggalkannya maka akan terombang ambing dalam ketidak pastian yang akan menimbulkan keresahan dalam jiwa.

Perkara yang meragukan adalah merupakan perkara yang Mutasyabihat

Musytabihat
Musytabihat adalah segala sesuatu yang belum diketahui secara jelas hukumnya, apakah termasuk halal atau termasuk haram. Mustabihat sifatnya nisbi, artinya ketidakjelasan tersebut terjadi pada sebagian orang dan tidak pada semua orang. Dengan demikian tidak ada satu pun sesuatu yang mustabihat secara mutlak, dimana semua orang tidak mengetahui kejelasan hukumnya.

Musytabihat dapat terjadi dalam 2 keadaan sebagai berikut:
1. Ketika para ulama tawakuf tentang hukum suatu masalah.
2. Ketika seseorang yang bukan ulama merasa tidak mengetahui secara jelas tentang hukum suatu masalah.
Dalam kedua keadaan tersebut semestinya seseorang tidak melangkah sehingga perkaranya sudah jelas, baik tatkala ulamanya sudah tidak tawakuf lagi atau sudah menanyakan kepada ahlinya.


Sumber:
Hadist web, www.islamhouse.com
 Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)