Kejujuran sesuai Qs.Al-Ma’idah(5):8,
At-Taubah(9):119 dan Hadist Nabi saw
A. Memahami Makna Kejujuran
Kejujuran sesuai Qs.Al-Ma'idah(5):8 dan Hadist nabi saw |
1. Pengertian Jujur
Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna
dengan “as-sidqu” atau “siddiq” yang berarti benar, nyata, atau
berkata benar. Lawan kata ini adalah dusta, atau dalam bahasa Arab ”al-kadzibu”.
Secara istilah, jujur atau as-sidqu bermakna:
(1) kesesuaian antara ucapan dan
perbuatan; (2) kesesuaian antara informasi dan kenyataan; (3) ketegasan dan
kemantapan hati; dan (4) sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan.
2. Pembagian Sifat Jujur
Imam al-Gazali membagi sifat jujur atau
benar (śiddiq) sebagai berikut :
a. Jujur dalam niat atau berkehendak,
yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain
dorongan karena Allah Swt.
b. Jujur dalam perkataan (lisan), yaitu
sesuainya berita yang diterima dengan yang disampaikan. Setiap orang harus
dapat memelihara perkataannya. Ia tidak berkata kecuali dengan jujur.
Barangsiapa yang menjaga lidahnya dengan
cara selalu menyampaikan berita yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya, ia
termasuk jujur jenis ini. Menepati janji termasuk jujur jenis ini.
c. Jujur dalam perbuatan/amaliah, yaitu
beramal dengan sungguh-sungguh sehingga perbatan dzhahirnya menunjukkan
sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi tabiat bagi dirinya. Kejujuran
merupakan fondasi atas tegaknya suatu nilai-nilai kebenaran karena jujur
identik dengan kebenaran. Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kamu kepada Allah Swt. dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (Q.S.
al-Ahzāb(33):70)
Orang yang beriman perkataannya harus
sesuai dengan perbuatannya karena sangat berdosa besar bagi orang-orang yang
tidak mampu menyesuaikan perkataannya dengan perbuatan, atau berbeda apa yang
di lidah dan apa yang diperbuat. Allah Swt.
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ
أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
Artinya: “(2) Wahai orang-orang yang beriman!
Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?(3). (Itu) sangatlah
dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(Q.S As-Shoff(61):2-3)
Pesan moral ayat tersebut tidak lain
memerintahkan satunya perkataan dengan perbuatan. Dosa besar di sisi Allah
Swt., mengucapkan sesuatu yang tidak disertai dengan perbuatannya.
Perilaku jujur dapat menghantarkan pelakunya
menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Bahkan, sifat jujur adalah sifat yang
wajib dimiliki oleh setiap nabi dan rasul. Artinya, orang-orang yang selalu istiqamah
atau konsisten mempertahankan kejujuran, sesungguhnya ia telah mamiliki
separuh dari sifat kenabian.
Jujur adalah sikap yang tulus dalam
melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta maupun tanggung jawab.
Orang yang melaksanakan amanat disebut al-Amin, yakni orang yang
terpercaya, jujur, dan setia.
Dinamai demikian karena segala sesuatu
yang diamanatkan kepadanya menjadi aman dan terjamin dari segala bentuk
gangguan, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.
Sifat jujur dan terpercaya merupakan sesuatu
yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam kehidupan rumah
tangga, perniagaan, perusahaan, dan hidup bermasyarakat.
Di antara faktor yang menyebabkan Nabi
Muhammad saw. berhasil dalam membangun masyarakat Islam adalah karena
sifat-sifat dan akhlaknya yang sangat terpuji. Salah satu sifatnya yang
menonjol adalah kejujurannya sejak masa kecil sampai akhir hayatnya sehingga ia
mendapa gelar al-Amin (orang yang dapat dipercaya atau jujur).
Kejujuran akan mengantarkan seseorang
mendapatkan cinta kasih dan keridaan Allah Swt. Sedangkan kebohongan adalah
kejahatan tiada tara, yang merupakan faktor terkuat yang mendorong seseorang
berbuat kemunkaran dan menjerumuskannya ke jurang neraka.
Kejujuran sebagai sumber keberhasilan,
kebahagian, serta ketenteraman, harus dimiliki oleh setiap muslim. Bahkan,
seorang muslim wajib pula menanamkan nilai kejujuran tersebut kepada
anak-anaknya sejak dini hingga pada akhirnya mereka menjadi generasi yang
meraih sukses dalam mengarungi kehidupan.
Adapun kebohongan adalah muara dari
segala keburukan dan sumber dari segala kecaman karena akibat yang
ditimbulkannya adalah kejelekan, dan hasil akhirnya adalah kekejian. Akibat
yang ditimbulkan oleh kebohongan adalan namimah (mengadu domba),
sedangkan namimah dapat melahirkan kebencian.
Demikian pula kebencian adalah awal dari
permusuhan. Dalam permusuhan tidak ada keamanan dan kedamaian. Dapat dikatakan bahwa,
“orang yang sedikit kejujurannya niscaya akan sedikit temannya.”
Contoh Bukti Kejujuran Nabi Muhammad saw.
Ketika Nabi Muhammad hendak memulai
dakwah secara terbuka dan terang-terangan, langkah pertama yang dilakukan
misalnya, Rasulullah saw. berdiri di atas bukit, kemudian memanggil-manggil
kaum Quraisy untuk berkumpul, “Wahai kaum Quraisy, kemarilah kalian semua. Aku
akan memberikan sebuah berita kepada kalian semua!”
Mendengar panggilan lantang dari
Rasulullah saw., berduyun-duyun kaum Quraisy berdatangan, berkumpul untuk
mendengarkan berita dari manusia jujur penuh pujian.
Setelah masyarakat berkumpul dalam jumlah
besar, beliau tersenyum kemudian bersabda, “Saudara-saudaraku, jika aku memberi
kabar kepadamu, jika di balik bukit ini ada musuh yang sudah siaga hendak menyerang
kalian, apakah kalian semua percaya?” Tanpa ragu semuanya menjawab mantap,
“Percaya!”
Kemudian, Rasulullah kembali bertanya,
“Mengapa kalian langsung percaya tanpa membuktikannya terlebih dahulu?” Tanpa
ragu-ragu orang yang hadir disana kembali menjawab mantap, “Engkau sekalipun
tidak pernah berbohong, wahai al-Amin. Engkau adalah manusia yang paling
jujur yang kami kenal.”
B. Ayat-Ayat Al-Qur’ān dan Hadis
tentang Perintah Berlaku Jujur
1. Q.S. al-Māidah(5):8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman!
Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa
yang kamu kerjakan.”
Kandungan Q.S. al-Māidah/5:8
Ayat ini memerintahkan kepada orang
mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur, dan
ikhlas karena Allah Swt., baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama
maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya
dengan demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil balasan yang mereka
harapkan.
Dalam persaksian, mereka harus adil menerangkan
apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan
menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabatnya sendiri.
Ayat ini seirama dengan Q.S.an-Nisā(4):153
yaitu sama-sama menerangkan tentang seorang yang berlaku adil dan jujur
dalam persaksian.
Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan
kewajiban berlaku adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan
merugikan diri sendiri, ibu, bapak, dan kerabat,
sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa
kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk
memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan.
Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat di atas
adalah agar orang-orang yang beriman menjadi penegak kebenaran karena Allah
Swt., bukan karena manusia atau karena mencari popularitas, menjadi saksi
dengan adil dan tidak curang,
jangan pula kebencian kepada suatu kaum
menjadikan kalian berbuat tidak adil terhadap mereka, tetapi terapkanlah
keadilan itu kepada setiap orang, baik teman ataupun musuh karena sesungguhnya
perbuatan adil menghantarkan pelakunya memperoleh derajat takwa.
Terkait dengan menjadi saksi dengan adil,
ditegaskan dari Nu’man bin Basyir, “Ayahku pernah memberiku suatu hadiah. Lalu
ibuku, ‘Amrah binti Rawahah, berkata, ‘Aku tidak rela sehingga engkau
mempersaksikan hadiah itu kepada Rasulullah saw.
Kemudian, ayahku mendatangi beliau dan
meminta beliau menjadi saksi atas hadiah itu. Maka Rasulullad saw. pun
bersabda:
Artinya: “Apakah setiap anakmu engkau
beri hadiah seperti itu juga? ‘Tidak’, jawabnya. Maka beliau pun bersabda,
‘Bertakwalah kepada Allah Swt., dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian!’
lebih lanjut beliau bersabda, ‘Sesungguhnya, aku tidak mau bersaksi atas suatu ketidakadilan.’
Kemudian ayahku pulang dan menarik kembali pemberian tersebut.”
2. Q.S. at-Taubah(9) :119
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ
الصَّادِقِينَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah Swt., dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang
benar.”
Kandungan Q.S. at-Taubah(9):119
Dalam ayat ini, Allah Swt. menunjukkan
seruan-Nya dan memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya
dan Rasul-Nya, agar mereka tetap dalam ketakwaan serta mengharapkan ridhaNya,
dengan cara menunaikan segala kewajiban
yang telah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala larangan yang telah
ditentukan-Nya, dan hendaklah senantiasa bersama orang-orang yang benar dan
jujur, mengikuti ketakwaan, kebenaran dan kejujuran mereka.
Dan jangan bergabung kepada kaum munafik,
yang selalu menutupi kemunafikan mereka dengan kata-kata dan perbuatan bohong
serta ditambah pula dengan sumpah palsu dan alasan-alasan yang tidak benar.
3. Hadis dari Abdullah bin Mas’ud ra.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud
ra., Rasulullah saw. bersabda,
Hadist Nabi Muhammad saw tentang kejujuran |
Artinya: “Hendaklah kamu berlaku jujur
karena kejujuran menuntunmu pada kebenaran, dan kebenaran menuntunmu ke surga.
Dan sesantiasa seseorang berlaku jujur dan selalu jujur sehingga dia tercatat
di sisi Allah Swt. Sebagai orang yang jujur.
Dan hindarilah olehmu berlaku dusta
karena kedustaan menuntunmu pada kejahatan, dan kejahatan menuntunmu ke neraka.
Dan seseorang senantiasa berlaku dusta dan selalu dusta sehingga dia tercatat
disisi Allah Swt. sebagai pendusta.” (H.R. Muslim)
Kandungan Hadis
Dalam sebuah hadis panjang yang berasal
dari Syihab diceritakan bahwa ketika Rasulullah saw. akan melakukan gazwah (penyerangan)
ke Tabuk untuk menyerang tentara Romawi dan orang-orang Kristen di Syam, salah
seorang sahabat yang bernama Ka’ab bin Malik mangkir dari pasukan perang,
Ka’ab menceritakan bahwa mangkirnya ia
dari peperangan tersebut bukan karena sakit ataupun ada suatu masalah tertentu,
bahkan menurutnya hari itu justru ia sedang dalam kondisi prima dan lebih prima
dari hari-hari sbelumnya.
Tetapi entah mengapa ia merasa enggan
untuk bergabung bersama pasukan Rasulullah saw. sampai akhirnya ia ditinggalkan
oleh pasukan Rasulullah saw.
Sekembalinya pasukan Rasulullah saw. ke
Madinah, ia pun bergegas menemui Rasulullah saw. dan berkata jujur tentang apa
yang ia lakukan. Akibatnya, Rasul menjadi murka, begitu pula sahabat-sahabat
lainnya. Ia pun dikucilkan bahkan diperlakukan seperti bukan orang Islam,
sampai-sampai Rasulullah saw. memerintahkannya untuk berpisah dengan istrinya.
Setelah lima puluh hari berselang,
turunlah wahyu kepada Rasulullah saw. yang menjelaskan bahwa Allah Swt. telah
menerima taubat Ka’ab dan dua orang lainnya. Allah Swt. benar-benar telah
menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anśar yang
mengikutinya dalam saat-saat sulit setelah hampir-hampir saja hati sebagian
mereka bermasalah.
Kemudian, Allah Swt. menerima taubat mereka
dan taubat tiga orang yang mangkir dari jihad sampai-sampai mereka merasa
sumpek dan menderita. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Pengasih dan Penyayang. Ketika
ia diberi kabar gembira bahwa Allah Swt. telah menerima taubatnya, dan
Rasulullah saw. telah memaafkannya,
Ka’ab berkata, “Demi Allah Swt. tidak ada
nikmat terbesar dari Allah Swt. setelah nikmat hidayah Islam selain kejujuranku
kepada Rasulullah saw. dan ketidakbohonganku kepada beliau sehingga saya tidak
binasa seperti orang-orang yang berdusta,
sesungguhnya Allah Swt. berkata tentang
mereka yang berdusta dengan seburuk-buruk perkataan.
4. Pesan-Pesan Mulia
Jujur Meskipun dalam Canda
Siapa yang meragukan kejujuran Rasulullah
saw.? Ia adalah manusia yang
sangat terpercaya. Hal tersebut diakui
oleh orang-orang yang memusuhinya sekalipun, seperti Abu Jahal dan lainnya.
Kejujuran Rasulullah saw. tidak hanya ketika
serius berbicara, ketika bercanda pun ia tidak pernah meninggalkan kejujurannya.
Bagaimana ia jujur dalam bercanda? Simak kisahnya!
1. Naik Anak Unta
Seorang datang kepada Nabi Muhammad saw.
dan meminta kepada Nabi untuk dinaikkan kendaraan. “Aku akan naikkan kamu pada
anak unta.” Laki-laki itu heran seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang aku
perbuat dengan anak unta?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah unta hanya melahirkan
anak unta?” (Maksudnya, bukankah anak unta itu juga unta dewasa).
2. Seorang nenek-nenek mendatangi
Rasulullah saw. Dan berkata, “Wahai
Rasulullah, doakanlah agar memasukkan aku ke dalam surga.” Rasulullah saw.
menjawab, “Wahai Ummu Fulan, sesungguhnya wanita tua tidak akan masuk ke dalam surga.”
Maka, perempuan tua itu berpaling dan menangis.
Rasulullah kemudian bersabda, “Beri
tahu ia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka
(bidadaribidadari) dengan langsung dan
Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” (Q.S. al-Wāqi’ah(56):35-36)
Menerapkan Perilaku Mulia
Jujur adalah perilaku yang
sangat mulia. Ia adalah sifat yang wajib dimiliki oleh para nabi dan rasul
Allah swt. sehingga separuh gelar kenabian akan disandangkan kepada orang-orang yang senantiasa menerapkan
perilaku jujur.
Penerapan perilaku jujur
dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat
misalnya seperti berikut.
1. Meminta izin atau
berpamitan kepada orang ketika akan pergi ke mana pun.
2. Tidak meminta sesuatu di
luar kemampuan kedua orang tua.
3. Mengembalikan uang sisa
belanja meskipun kedua orang tua tidak Mengetahuinya
4. Melaporkan prestasi hasil belajar
meskipun dengan nilai yang kurang memuaskan.
5. Tidak memberi atau meminta jawaban
kepada teman ketika sedang ulangan atau ujian sekolah.
6. Mengatakan dengan sejujurnya alasan
keterlambatan datang atau ketidakhadiran ke sekolah.
7. Mengembalikan barang-barang yang
dipinjam dari teman atau orang lain meskipun
barang tersebut tampak tidak begitu berharga.
8. Memenuhi undangan orang lain ketika
tidak ada hal yang dapat menghalanginya.
9. Tidak menjanjikan sesuatu yang kita tidak
dapat memenuhi janji tersebut.
10. Mengembalikan barang yang ditemukan
kepada pemiliknya atau melalui pihak yang bertanggung jawab.
11. Membayar sesuatu sesuai dengan harga
yang telah disepakati.
Rangkuman
1. Jujur (as-sidqu) adalah mengatakan
sesuatu sesuai dengan kenyataan, sedangkan dusta (al-kadzibu) adalah
mengatakan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Kejujuran merupakan petunjuk dan jalan
menuju surga Allah Swt. Sedangkan dusta adalah petunjuk dan jalan menuju
neraka.
3. Jujur adalah sifat para nabi dan rasul
Allah Swt., sedangkan bohong atau dusta adalah ciri atau sifat orang-orang
munafik.
4. Kejujuran akan menciptakan ketenangan,
kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan kenikmatan lahir batin baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Sementara, kedustaan menimbulkan kegoncangan,
kegelisahan, konflik sosial, kekacauan, kehinaan, dan kesengsaraan lahir dan
batin baik di dunia apalagi di akhirat.
5. Diperbolehkan dusta hanya untuk tiga hal
saja, yaitu ketika seorang istri memuji suaminya atau sebaliknya. Ketika
seseorang yang akan mencelakai orang yang tidak bersalah dengan mengatakan
bahwa orang yang dicari tidak ada. Ketika ucapan dusta untuk mendamaikan dua
orang yang sedang bertikai agar damai dan rukun kembali.
Demikian Kejujuran sesuai
Qs.Al-Ma’idah(5):8, At-Taubah(9):119 dan Hadist Nabi saw, semoga bermanfaat.
Sumber :
Buku Diknas Pendidikan Agama islam dan
budi pekerti K-13 SMA/MA/SMK Kelas X