Iklan

Saturday, 17 June 2017

Substansi dakwah Rasulullah saw di mekah



Meneladani perjuangan Rasulullah saw di Mekah tentang Substansi dakwah Rasulullah saw di mekah

Substansi dakwah Raslllah saw di Mkah
1. Substansi Dakwah Rasulullah saw. di Mekah

a. Kerasulan Nabi Muhammad saw. dan Wahyu Pertama

Menurut beberapa riwayat yang sahiih Nabi Muhammad saw. Pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 Ramadhan saat usianya 40 tahun.

Malaikat Jibril datang untuk membacakan wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., yaitu Q.S.al-‘Alāq. Nabi Muhammad saw. diperintahkan membacanya, namun Rasulullah saw. berkata bahwa ia tak bisa membaca.

Malaikat Jibril mengulangi permintaannya, tetapi jawabannya tetap sama. Kemudian, Jibril menyampaikan firman Allah Swt. yaitu Q.S. al-‘Alāq/96:1-5 sebagai berikut:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Artinya: “1.Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan 2.

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah 3.Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, 4.yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). 5.Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq/96:1-5)


Itulah wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. sebagai awal diangkatnya sebagai rasul. Kemudian, Nabi Muhammad saw. menerima ayat-ayat al-Qur’ān secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun.

Ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan kejadian faktual yang  sedang terjadi sehingga hampir setiap ayat al-Qur’ān turun disertai oleh Asbābun Nuzμl (sebab/kejadian yang mendasari turunnya ayat). Ayat-ayat yang turun sejauh itu dikumpulkan sebagai kompilasi bernama al-Mushaf yang juga dinamakan al-Qur’ān.

b. Ajaran-Ajaran Pokok Rasulullah saw. di Mekah

1) Aqidah
Rasulullah saw. diutus oleh Allah Swt. untuk membawa ajaran tauhid Masyarakat Arab yang saat ia dilahirkan bahkan jauh sebelum ia lahir, hidup dalam praktik kemusyrikan. Ia sampaikan kepada kaum Quraisy bahwa Allah Swt. Maha Pencipta.

Segala sesuatu di alam ini, langit, bumi, matahari, bintang-bintang, laut, gunung, manusia, hewan, tumbuhan, batu-batuan, air, api, dan lain sebagainya itu merupakan ciptaan Allah Swt. Karena itu, Allah Swt. Mahakuasa atas segala sesuatu, sedangkan manusia lemah tak berdaya.

Ia Mahaagung (Mulia) sedangkan manusia rendah dan hina. Selain Maha Pencipta dan Mahakuasa, Ia pelihara seluruh makhluk-Nya dan Ia sediakan seluruh kebutuhannya, termasuk manusia.

Selanjutnya, Nabi Muhammad saw. juga mengajarkan bahwa Allah Swt. itu Maha Mengetahui. Allah Swt. mengajarkan manusia berbagai macam ilmu pengetahuan yang tidak diketahuinya dan cara memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut.

Ajaran keimanan ini, yang merupakan ajaran utama yang diembankan kepada ia bersumber kepada wahyu-wahyu Ilahi. Banyak sekali ayat al-Qur’ān yang memerintahkan beliau agar menyampaikan keimanan sebagai pokok ajaran Islam yang sempurna.

Allah Swt. berfirman yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Swt., Yang Maha Esa. Allah Swt. tempat meminta segala sesuatu. (Allah Swt.) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. al-Ikhlaś/112:1-4)

Ajaran tauhid ini berbekas sangat dalam di hati Nabi dan para pengikutnya sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat, mapan, dan tak tergoyahkan. Dengan keyakinan ini, para sahabat sangat percaya bahwa Allah Swt. tidak akan membiarkan mereka dalam kesulitan dan penderitaan.

Dengan keyakinan ini pula, mereka percaya bahwa Allah Swt. akan memberikan kebahagiaan hidup kepada mereka. Dengan keyakinan ini pula, para sahabat terbebas dari pengaruh kekayaan dan  kesenangan duniawi.

Dengan keyakinan ini pula, para sahabat mampu bersabar dan bertahan serta tetap berpegang teguh pada agama ketika mereka mendapatkan tantangan dan siksaan yang amat keji dari pemuka-pemuka Quraisy.

Dengan keyakinan seperti ini pulalah, Nabi Muhammad saw. dapat mengatakan dengan mantap kepada Abu thalib, “Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan  kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan aku tinggalkan. Biarlah nanti Allah Swt. Yang akan membuktikan apakah saya memperoleh kemenangan (berhasil) atau binasa karenanya”.

Ini pula yang menjadi rahasia mengapa Bilal bin Rabbah dapat bertahan atas siksaan yang ia terima dengan tetap mengucapkan “Allah Maha Esa” secara berulang-ulang.

2) Akhlak Mulia

Dalam hal akhlak, Nabi Muhammad saw. tampil sebagai teladan yang baik (ideal). Sejak sebelum menjadi nabi, ia telah tampil sebagai sosok yang jujur sehingga diberi gelar oleh masyarakatnya sebagai al-Amin (yang dapat dipercaya).

Selain itu, Nabi Muhammad saw. merupakan sosok yang suka menolong dan meringankan beban orang lain. Ia juga membangun dan memelihara hubungan kekeluargaan serta persahabatan. Nabi Muhammad saw. tampil sebagai sosok yang sopan, lembut, menghormati setiap orang, dan memuliakan tamu.

Selain itu, Nabi Muhammad saw. juga tampil sebagai sosok yang berani dalam membela kebenaran, teguh pendirian, dan tekun dalam beribadah. Nabi Muhammad saw. mengajak agar sikap dan perilaku yang tidak terpuji yang dilakukan masyarakat Arab seperti berjudi, meminum minuman keras (khamr), berzina, membunuh, dan kebiasaan buruk lainnya ditinggalkan.

 Selain karena pribadi ia dengan akhlaknya yang luhur, ajaran untuk memperbaiki akhlak juga bersumber dari Allah Swt. Firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwallah kepada Allah Swt. agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al-Hujurāt/49:10)

Keterangan di atas memberikan penjelasan kepada kita, bagaimana Rasulullah saw. memadukan teori dengan praktik. Ia mengajarkan akhlak mulia kepada masyarakatnya, sekaligus juga membuktikannya dengan perilakunya yang sangat luhur.

Akhlak Rasulullah saw. adalah apa yang dimuat di dalam al-Qur’ān itu sendiri. Ia tidak hanya mengajarkan, tetapi juga mencontohkan dengan akhlak terpuji.

Hal ini diakui oleh seorang penulis Barat, Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul “100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia” dengan menempatkan Rasulullah saw. sebagai manusia tersukses mengubah perilaku manusia yang biadab menjadi manusia yang beradab.


Demikan “Substansi Dakwah Rasulullah saw. di Mekah”, semoga bermanfaat,  

Sumber :
Buku Diknas Pendidikan Agama islam dan budi pekerti K-13 SMA/MA/SMK Kelas X



Friday, 16 June 2017

Kisah nabi Musa as Menuntut ilmu dalam Al-Qur''an



Keutamaan  ilmu dan kisah  nabi Musa as Menuntut ilmu kepada nabi khiadir didalam Al-Qur’an,

Kisah nabi Musa as menuntut ilmu 
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang terpenting yang  harus kita usakan karena dengan ilmu kita akan dapat meraih kebahagian dunia dan akhirat, demikian pentingnya ilmu sehingga Allah SWT, menurunkan wahyu yang pertama perintah untuk membaca atau belajar dan merupakan jalan untuk mendapatkan syurga,

Dari Abuddarda' r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari sesuatu ilmu pengetahuan di situ, maka Allah akan memudahkan untuknya suatu jalan untuk menuju syurga,

dan sesungguhnya para malaikat itu niscayalah meletakkan sayap-sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu itu, karena ridha sekali dengan apa yang dilakukan oleh orang itu.

Sesungguhnya orang alim itu niscayalah dimohonkan pengampunan untuknya oleh semua penghuni di langit dan penghuni-penghuni di bumi, sampaipun ikan-ikan yu yang ada di dalam air.

Keutamaan orang alim atas orang yang beribadat itu adalah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya para alim ulama adalah pewarisnya para Nabi,

sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar ataupun dirham, hanyasanya mereka itu mewariskan ilmu. Maka barangsiapa dapat mengambil ilmu itu, maka ia telah mengambil dengan bagian yang banyak sekali." (Riwayat Abu Dawud dan Termidzi)

Allah SWT berfirman :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya : “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. At-Taubah(9) : 122)

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Qs. Al-Isro(17) : 36)

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya : “... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”     (Qs. Al-Mujadilah(58) : 11)

Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap kaum muslimin dan muslimat, mulai dari buaian sampai kuburan, termasuk didalamnya para nabi dan Rasul utusan Allah SWT.

Coba kita simak kisah nabi Musa as. Suatu hari, seorang dari Bani Israil menemui Musa dan kemudian bertanya, “Wahai Nabiyullah, adakah di dunia ini orang yang lebih berilmu darimu ?” ujarnya. Tersentak, Nabi Musa AS pun  menjawab, “Tidak”.

Tentu saja, siapa yang mampu menandingi ilmu Musa, utusan Allah kala itu. Sumber tuntunan agama dan sumber pengetahuan wahyu Allah ada di genggaman Musa. Ia memiliki Taurat dan beragam mukjizat dari-Nya.

Namun, rupanya Allah memiliki hamba lain selain Musa yang lebih berilmu. Allah pun menegur dengan mewahyukan pada Musa bahwa tak seorang pun di muka bumi yang mampu menguasai semua ilmu.

Tak hanya Musa, di belahan bumi lain pun terdapat seorang yang memiliki ilmu luar biasa. Ilmu itu tak hanya dimiliki Musa. Orang itu juga seorang Nabi. Mengetahui hal tersebut, sontak Musa pun ingin berguru kepada orang tersebut. Ia bersemangat ingin menuntut ilmu dan menambah pengetahuannya.

Sesungguhnya teguran Allah Swt itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa AS untuk menemui hamba yang shaleh itu. Di samping itu, Nabi Musa AS juga ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.

Nabi Musa AS kemudian menunaikan perintah Allah SWT itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan muridnya, Yusya bin Nun.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sebentar karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air.

Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah SWT menghidupkan kembali ikan yang telah mati itu.

Setelah menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya’ tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa AS. Mereka kemudian meneruskan perjalanan lagi, dan keesokan paginya.

Ibn Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.”.

Pejalanan melelahkan keduanya hingga mereka merasa lapar. Ketika Musa menanyakan bekal untuk makan, Yusya baru teringat pada si ikan. “Saat kita istirahat di batu tadi, sungguh aku benar-benar lupa mengabarkan tentang ikan itu.

Tidaklah yang melupakanku untuk mengabarkannya padamu kecuali setan. Ikan itu kembali ke laut dengan cara yang aneh sekali,” ujar Yusya. Musa pun langsung mengetahui itu adalah sebuah tanda, “Itulah tempat yang kita cari,” ujar Musa bersemangat.

Lupa sudah rasa lapar tadi, keduanya pun kembali ke arah semula tempat mereka beristirahat. Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Khidir.

Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Persia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.

Ketika mereka telah Sampai pada tempat yang mereka tuju dan bertemu dengan sosok pria yang wajahnya tertutup sebagian oleh kudung. Sikapnya tegas menunjukkan kesalehannya.

Pria itulah ialah Nabi Khidir AS. “Bolehkah aku mengikutimu agar kau bisa mengajarkanku sebagian ilmu di antara ilmu-ilmu yang kau miliki ?” ujar Nabi Musa AS kepada Khidir AS. Nabi Khidir AS menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku”(Surah Al-Kahfi : 67).

 “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebagian dari pada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”

Nabi Musa berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69).

Dia (Khidir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70).

Nabi Musa AS mengikuti Nabi Khidir AS dan terjadilah peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji bahwa Nabi Musa AS tidak akan bertanya mengenai sesuatu tindakan  Nabi Khidir AS. Setiap tindakan Nabi Khidir AS itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa AS terperanjat.

Peristiwa ketika Nabi Khidir AS menghancurkan perahu yang mereka tumpangi. Nabi Musa AS bertanya kepada Nabi Khidir AS. Nabi Khidir AS mengingatkan akan janji Nabi Musa AS, dan Nabi Musa AS meminta maaf karena lalai mengingkari janji  untuk tidak bertanya mengenai tindakan Nabi Khidir AS.

Ketika  mereka tiba di suatu daratan, Nabi Khidir AS membunuh bocah yang sedang bermain dengan teman sebayanya. Dan lagi-lagi Nabi Musa AS bertanya kepada Nabi Khidir AS. Nabi Khidir AS kembali mengingatkan janji Nabi Musa AS,

dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap yang dilakukan oleh Nabi Khidir AS, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa AS harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan lagi bersama Nabi Khidir AS.

Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu Perkampungan. Sikap penduduk Kampung itu tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa AS merasa kesal terhadap penduduk itu.

Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidir AS malah menyuruh Nabi Musa AS untuk  memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak . Nabi Musa AS tidak kuasa untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidir AS ini.

Akhirnya Nabi Khidir AS menegaskan pada Nabi Musa AS bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa AS untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa AS tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan  bersama dengan Nabi Khidir AS.

Nabi Khidir AS menguraikan  mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa AS bertanya. Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu.

Dan adapun bocah itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak/bocah lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya.

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu,

dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.

Hikmah dari  kisah ini , Adab menuntut ilmu

AI Imam Fakhrur Razi mengatakan,” Ketahuilah , ayat ini (Qs  al Kahfi: 66) menunjukan bahwa Nabi Musa memperhatikan adab serta tata cara yang cukup banyak dan lunak ketika ingin belajar dari nabi Khidir. Tata cara tersebut antara lain :

Nabi Musa merendah’kan dirinya dengan bertanya secara halus , “ Apakah engkau mengizinku untuk  mengikutimu? Padahal kita tahu Nabi Musa adalah seorang nabi Ulul Azmi yang pernah bercakap-cakap dengan Allah dan memimpin Bani Israil. Dia pula satu-satunya Nabi yang disebut namanya dalam Al Qur’an sebanyak 300 Kali!

Kemudian nabi Musa mengatakan “ Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar..” ini membuktikan kepribadian luhur dan sifat tawadlu untuk  mengakui akan kebodohan dirinya di hadapan sang guru. Dan beberapa adab lainnya

Hikmah kisah ini juga menyampaikan salah satu etika dalam menuntut ilmu (al Qur’an) adalah bahwa ilmu harus dicari dari sumbernya . Ia harus didatangi walau jauh tempatnya dan kesulitan  dalam menempuhnya.

Dan Nabi Musa mencontohkan bagaimana ia walaupun seorang nabi pilihan (ulul azmi) yang sekaligus pemimpin , siap menempuh suatu perjalanan untuk mencari ilmu.

Para pecinta ilmu semakin bertambah ilmunya, maka dia makin merasa bodoh, karena lebih banyak yang belum diketahuinya dari pada apa yang telah diketahuinya, karena itu biasanya mereka sangat bersunguh-sungguh dalam mempelajarinya

Demikian keutamaan  ilmu dan kisah  nabi Musa as Menuntut ilmu kepada nabi khaidir didalam Al-Qur’an, semoga bermanfaat