Iklan

Monday, 17 July 2017

Sifat Istiqomah dan Ikhlas dalam iman dan Islam


Gambar : soniahalliday.com  
Iman artinya percaya dengan sepenuh hati tiada keraguan sedikitpun dan tidak akan pernah berubah baik dengan rayuan atau bujukan harta yang banyak , kedudukan tinggi, pasangan hidup yang memikat maupun  ujian hidup yang berat lainnya seperti intimidasi, tindak kekerasan, penyiksaan bahkan kematiantidak akan dapat merubah keimanannya karena orang yang ikhlas beriman kepada Allah SWT akan siap menerima cobaan dan resiko sebesar apapun walau harus mengorbankan harta, jiwa dan raganya.

Ketika pemimpin kaum kafir Qurais mulai mencemaskan perkembangan islam di Mekah yang nampaknya mulai terlihat tanda-tandanya, mereka para tokoh seperti Abu jahal, Abu Sofyan, dan yang lainnya datang menghadap Abu thalib agar menyampaian pesan kepada keponakannya yakni Muhammad SAW untuk menghentikan kegiatan dakwah dan penyebaran ajaran islam, dan sebagai konpensasi mereka telah menyiapkan harta yang banyak, wanita-wanita yang cantik dan mengangkatnya menjadi raja dengan syarat nabi Muhammad SAW menghentikan dakwanya dan tidak meneruskan penyebaran agama islam.

Untuk orang yang lemah imannya atau pecinta dunia tawaran ini tentu sangat menggiurkan karena memang inilah yang selama ini mereka kejar dan cari, tidak penting jalan halal atau haram, mengorbankan kehormatan atau tidak, menukar keyakinan atau tidak bila ditawari harta yang banyak, wanita yang cantik (untuk kaum pria) atau pria yang tampan (untuk kaum wanita) ditambahlah lagi jabatan yang tinggi tentu tidak ada alasan untuk menolaknya dan akan sangat senang menerimannya, namun tidak demikian bagi orang yang mempunyai keimanan yang ikhlas dan mantap semua itu tidak akan ada artinya dibandingkan dengan imannya tersebut.

Maka ketika nabi Muhammad SAW mendengar permintaan kaum Quraisy yang disampaikan pamannya Abu Tholib kepadannya dengan tegas tanpa ada keraguan sedikitpun namun dengan cara yang santun beliau menjawab “Wahai pamanku seandainya mereka mampu meletakan bulan di tangan kananku dan matahari ditangan kiriku agar aku menghentikan dakwahku niscaya aku tidak akan berhenti sehingga islam ini jaya atau aku binasa karenanya”.         

Tidak sekedar bujukan halus berupa fasilitas kenikmatan hidup yang ditawarkan untuk menguji keihlasan iman seseorang , tidak jarang pula imanpun mendapat ujian berupa tekanan dan ancaman fisik sampai pada kematian atau pembunuhan  hal ini bisa kita lihat ujian keimanan dari beberapa tukang sihir raja Fir’aun yang beriman kepada Allah SWT tatkala mereka mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, kisahnya demikian :

Sifat istiqomah keimanan Tukang sihir Fir’an

Fir’aun memilih tukang-tukang  sihir terbaik diMesir untuk menghadapi Nabi Musa as yang diberikan mujuzat oleh Allah SWT dan menjanjikan kepada mereka harta yang banyak  dan kedudukan yang tinggi bila dapat mengalahkan nabi Musa, maka tatkala hari yang ditentukan telah tiba, para tukang sihir dan nabi Musa berhadapan terjadilah dialog antara penyihir dengan nabi Musa as sebagai mana tercantum dalam Qs.Thoha (20) ayat 65- 69

65). “(Setelah mereka berkumpul) mereka berkata: "Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?"

66). Berkata Musa: "Silakan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.

67). Maka Musa merasa takut dalam hatinya.
68). Kami berkata: "Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).

69). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang".

Ketika tukang sihir melihat kebenaran yang nyata bahwa tali-tali yang mereka lemparkan itu terlihat oleh orang lain seperti ular-ular kecil padahal hakikatnya tidak demikian dan melihat tongkat yang dilemparkan nabi Musa benar-benar berubah menjadi ular yang sesungguhnya dengan izin Allah SWT, tanpa ragu sedikitpun mereka beriman kepada Allah dan rasulnya Qs. Thoha(20) ayat 70

فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى

Artinya : Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa".

          Melihat tukang-tukang sihir yang bersujud dan menyatakan keislamannya ini fir’aun sangat murka dan menuduh mereka telah melakukan konspirasi untuk menjatuhkan kekuasaannya Qs. Thoha(20) ayat 71- 73

71). Berkata Firaun: "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya".

72). Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.

73). Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya)"

Tukang sihir yang semula bermaksud ingin mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi disisi Fir’aun akhirnya dengan ikhlas merubah haluan dengan memilih beriman kepada Allah dengan segala konsekwensinnya dan merekapun harus rela menerima hukuman dan siksaan dari Fir’aun berupa potong kaki dan tangan bersebelahan serta tiang salib sebagai akibat mempertahankan hidayah keimanan yang telah diperolehnya, mereka telah melihat kebenaran dan memilih mengikutinya untuk meraih kebahagian yang kekal disisi Allah dan meninggalkan kesenangan semu di dunia yang fana.    


Wednesday, 28 June 2017

Keutamaan Mengajar Al-Qur’an dan Hadist



Keutamaan Mengajar  Ilmu dalam  Al-Qur’an dan Hadist

Keutamaan mengajar Al-Qur'an Hadist
Tidak semua orang bisa mengajar  dan tidak semua orang yang bisa mengajar mau mengajarkan ilmunya  dan tidak  semua orang  yang mengajarkan ilmunya melaksanakannya dengan ikhlas itu sebabnya guru diistilahkan dengan pahlawan tanpa tanda jasa karena mengharap keridhaan Allah swt

Tidak semua orang menjadi guru tapi semua orang punya guru, apapun profesinya pasti punya guru, namun ketika berhasil banyak yang  melupakan gurunya  untuk itulah guru jangan mengabdi dan mengharap balasan dari manusia tapi mengabdi dan menggantungkan harapkan hanya kepada yang maha kuasa agar tidak menyesal atau kecewa.

Ayat Al-Qur’an dan hadist tentang menyebarkan  ilmu

Allah SWT berfirman :

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”(Qs. Al-Baqoroh(2):151)

Ibnu Abbas berkata, "Jadilah kamu semua itu golongan Rabbani, yaitu (golongan yang) penuh kesabaran serta pandai dalam ilmu fiqih (yakni ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum hukum agama), dan mengerti."

Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud "Rabbani"' ialah orang yang mendidik manusia dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kecil-kecil sebelum memberikan ilmu pengetahuan yang besar-besar (yang sukar). (H.r. Bukhori)

Dari Urwah, dia berkata, "Kami diberi keterangan,  Abdullah bin Amr bin Ash, (maka saya mendengar dia) berkata, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-hamba Nya. Tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan (mematikan) ulama, sehingga Allah tidak menyisakan orang pandai.

Maka, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu, mereka ditanya, dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu. (Dan dalam satu riwayat: maka mereka memberi fatwa dengan pikirannya sendiri). Maka, mereka sesat dan menyesatkan." (H.r. Bukhori)

Ali r.a. berkata, "Hendaklah kamu menasihati orang lain sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Adakah kamu semua senang sekiranya Allah dan Rasul-Nya itu didustakan sebab kurangnya pengertian yang ada pada mereka itu?"
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Di antara tanda-tanda hari kiamat ialah diangkatnya ilmu, munculnya kebodohan, banyak yang meminum arak, dan timbulnya perzinaan yang dilakukan secara terang-terangan. (HR.Muslim)

Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat.    (HR. Ar-Rabii')

Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka ... neraka. (HR. Tirmidzi   dan Ibnu Majah)

Wahai Aba Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah lebih baik bagimu daripada shalat (sunnah) seratus rakaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik daripada shalat seribu raka'at. (HR. Ibnu Majah)

Kisah inspiratif sorang Da'i di Pedalaman



Kisah seorang da’i pedalaman menderita penyakit yang mengharuskan da’i tersebut dibawa kerumah sakit ke Jakarta. Pak Syuhada Bahri sebagai ketua umum dewan dakwah dan juga pengutus da’i di pedalaman tersebut, berkata kepada da’i dengan penuh prihatin atas apa yang dialaminya, “untuk sementara ini antum dirawat dirumah sakit, setelah sembuh silahkan kembali ke pedalaman agar dakwah lebih maksimal lagi”. 

Namun menerima tawaran itu, si da’i berkata, “kalau saya tidak berdakwah, bagaimana dengan masyarakat disana, siapa yang mengajarkan mereka selain saya?…da’i tersebut bersikeras untuk tetap kembali kedaerah pedalaman meski kondisi badan yang belum sehat. 

Dengan berat hati pak Syuhada melepas kepergian da’i itu  kembali ke daerah dakwahnya meski dalam keadaan sakit. Dengan Izin Allah, da’i ini ditakdirkan meninggal dunia ketika berada ditengah-tengah masyarakat binaannya. 

Da’i ini ingin disaksikan oleh Allah bahwa ia meninggal  dijalan-Nya dalam menegakkan kalimatullah. Ia tidak ingin mati dirumah sakit menunggu kesembuhan yang belum pasti. Ia ingin dicatat sebagai orang yang mati sebagai syuhada yang menyebarkan dakwah di bumi-Nya.

          Da’i bukan hanya berdakwah kepada masyarakat saja. bisa jadi dalam suatu kondisi seorang da’i juga dituntut mampu bekerja keras untuk mencari penghidupan tanpa bergantung sama sekali kepada siapa yang mengutus mereka disana. Hal inilah yang dialami salah seorang da’i dipedalaman. 

Kondisi masyarakat yang miskin pendidikan dan ekonomi,  tak mungkin ia mendapat uluran tangan dari mereka. masyarakat miskin dan da’i pun miskin. Hingga membuat dirinya tergerak untuk mencari mata pencaharian. Padahal ia disana baru seminggu dengan melewati beberapa sungai yang dipenuhi buaya dan menyebrangi lautan.

 Tidak mungkin ia mengundurkan niatnya untuk berdakwah. Dengan perahu mesinnya selain untuk berdakwah si da’i itu mencari ikan disungai-sungai dan hasilnya dijual kepasar. Dengan begitu kebutuhan sehari-hari terpenuhi. Keadaan masyarakat yang serba kurang, menjadikan ia setiap berdakwah mendatangi satu persatu mad’unya. 

Sungguh lain dari pada yang lain. biasanya da’i yang hanya menunggu mad’unya, Ini sebaliknya. Justru da’i sendiri yang mendatangi mereka satu persatu. Masyarakat yang begitu miskin terkadang malah meminta sembako, seperti beras, garam, dan bahan lainnya kepada da’i. 

biasanya si da’i yang mendapat uluran tangan dari mereka, tapi justru da’i yang menjadi tempat uluran tangan mad’unya. Subhanallah.