Berpikir Kritis dan Bersikap Demoratis
|
Demokrasi Dalam Islam |
2. Demokrasi dalam Islam
A. Pengertian Demokrasi
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar,
sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik
suatu negara.
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang
diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan
oleh pemerintah negara tersebut.
Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan
oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah
wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala
kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan
negara.
Di dalam
al-qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi pesan-pesan mulia tentang bersikap
demokratis, tentang musyawarah
dan toleransi dalam
perbedaan.
Sebelum dijelaskan isi kandungannya, sebaiknya dibaca terlebih dahulu
Qs. Ali Imran (3) : 159 di bawah ini dengan tartil, kemudian
dihafal!
1. Baca dengan Tartil Ayat-ayat al-Qur'an dan Terjemahnya yang Mengandung Pesan Sikap Demokratis.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku
lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S.ali
Imran(3):159)
2. Penerapan Tajwid:
Pelajari hukum tajwid pada tabel berikut!
Kalimat
|
Hukum Bacaan
|
Alasan
|
فَبِمَا
|
Mad Tabi’i
|
Fathah diikuti Alif
|
رَحْمَةٍ مِنَ
|
Idgam Bigunnah
|
Tanwin diikuti huruf Mim
|
لِنْتَ
|
Ikhfa
|
Nun sukun diikuti huruf
Ta
|
فَظًّا غَلِيظَ
|
Idhar
|
Tanwin diikuti huruf Ghain
|
لانْفَضُّوا
|
Ikhfa
|
Nun sukun diikuti huruf Fa’
|
مِنْ حَوْلِكَ
|
Idhar
|
Nun sukun diikuti huruf Ha
|
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
|
Idhar Syafawi
|
Mim sukun diikuti huruf
Wawu
|
فِي الأمْرِ
|
Idhar Qamar³yah
|
Alif Lam sukun diikuti huruf
Hamzah
|
عَلَى اللَّهِ
|
Lam Tafkhim
|
Lafaz Jalalah datang setelah fathah
|
الْمُتَوَكِّلِينَ
|
Mad ‘arid Lissukun
|
Mad Thabi’I diikuti huruf hidup lalu dibaca waqaf
|
Arti Perkata atau Mufrodat
Kata
|
Arti
|
Kata
|
Arti
|
فَبِمَا رَحْمَةٍ
|
Karena kasih sayang/
rahmat
|
وَاسْتَغْفِرْ
|
Dan mintakanlah ampunan
|
مِنَ اللَّهِ
|
Dari Allah
|
لَهُمْ
|
Untuk mereka
|
لِنْتَ
|
Kamu bersikap lemah lembut
|
وَشَاوِرْهُمْ
|
Dan bermusyawa-rah-lah dengan mereka
|
لَهُمْ
|
Kepada mereka
|
فِي الأمْرِ
|
Dalam segala
urusan itu
|
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
|
dan sekiranya kamu kasar (dalam perkataan)
|
فَإِذَا
|
Maka apabila
|
غَلِيظَ الْقَلْبِ
|
Keras hati
|
عَزَمْتَ
|
Kamu bertekad bulat
|
لانْفَضُّوا
|
Niscaya mereka
bubar/menjauh
|
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
|
Bertawakkallah kepada Allah
|
مِنْ حَوْلِكَ
|
Dari hadapanmu/
Sekelilingmu
|
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
|
Sesungguhnya Allah mencintai
|
فَاعْفُ عَنْهُمْ
|
Maka maafkanlah
mereka
|
الْمُتَوَكِّلِينَ
|
Orang-orang yang bertawakal
|
4. Asbabun Nuzul
Sebab-sebab
turunnya ayat
159 surat Ali-Imran ini kepada Nabi
Muhammad saw. sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a., Ibnu Abas r.a. menjelaskan bahwasanya setelah terjadi
perang Badar Rasulullah mengadakan
musyawarah dengan Abu
Bakar r.a. dan
Umar bin Khatab r.a. untuk meminta
pendapat mereka tentang para
tawanan perang
Badar.
Abu Bakar r.a. berpendapat, mereka sebaiknya
dikembalikan kepada keluarga
mereka dan keluarga
mereka membayar tebusan. Namun Umar bin Khatab r.a. berpendapat, mereka sebaiknya
dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah keluarga
mereka. Rasulullah saw. kesulitan dalam
memutuskan, kemudian turun ayat 159 surat
Ali-Imran ini sebagai dukungan
atas pendapat Abu Bakar r.a.(HR.Kalabi).
5. Penjelasan/Tafsir
Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti
terjadinya
pelanggaran yang
dilakukan oleh sebagian
kaum muslimin
dalam perang Uhud
sehingga menyebabkan kaum muslimin
menderita
kekalahan, tetapi
Rasulullah saw. tetap lemah lembut dan tidak marah
terhadap para pelanggar, bahkan memaafkan
dan memohonkan ampun
untuk mereka. Seandainya Rasulullah bersikap keras, tentu
mereka akan menaruh benci
kepada beliau. Dalam pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa memberi maaf terhadap orang yang berbuat salah serta
memohonkan ampun kepada
Allah Swt. terhadap kesalahan-kesalahan mereka.
Di samping itu, Rasulullah saw juga senantiasa
bermusyawarah dengan
para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin
patuh terhadap keputusan-
yang diperoleh tersebut, karena merupakan
keputusan mereka bersama Rasulullah saw. Mereka tetap berjuang dengan tekad yang bulat di jalan Allah Swt.. Keluhuran budi Rasulullah saw inilah
yang menarik
simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik sehingga mau masuk Islam.
Dalam ayat
di atas tertera tiga sifat dan sikap yang
secara berurutan
disebut dan
diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum
bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak
kasar, dan tidak
berhati keras. Meskipun ayat tersebut berbicara
dalam
konteks perang
uhud, tetapi esensi
sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim,
terutama ketika hendak bermusyawarah.
Sedangkan sikap yang
harus
diambil
setelah
bermusyawarah adalah memberi maaf kepada semua
peserta musyawarah, apapun bentuk kesalahannya. Jika semua peserta musyawarah bersikap“memaafkan”maka yang terjadi
adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada
lagi sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di
luar musyawarah, baik karena pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain.
Dalam al-Qur'an terdapat banyak
ayat
yang berbicara tentang nilai- nilai dalam demokrasi
seperti dalam
Firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-
Isra(/17):70, Q.S. al-Baqarah(2):30, Q.S. alHujirat(49):13, Q.S. asy-Syura(42):38 serta berbagai
surat lain.
Inti dari semua
ayat tersebut membicarakan bagaimana menghargai
perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah dan lain
sebagainya yang merupakan
unsur-unsur dalam
demokrasi.
Di samping ayat-ayat
tersebut, banyak juga hadis Rasulullah yang mengisyaratkan pentingnya demokrasi, karena beliau dikenal sebagai pemimpin yang
paling
demokratis. Di antaranya adalah hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling suka bermusyawarah dalam banyak hal, seperti hadits berikut:
Artrinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku tak pernah melihat
seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat dari pada Rasulullah saw.” . [HR. at-Tirmidzi].
Hadis di atas menjelaskan bahwa menurut
pandangan para
sahabat, Rasulullah saw adalah orang
yang
paling suka bermusyawarah. Dalam banyak urusan
yang penting beliau senantiasa
melibatkan
para sahabat untuk dimintai pendapatnya, seperti dalam urusan
strategi perang. Sikap Rasulullah tersebut menunjukkan salah satu bentuk kebesaran jiwa beliau dan
kerendahan
hatinya (tawadhu’), meskipun memiliki status
sosial paling tinggi dibanding seluruh
umat manusia, yaitu sebagai utusan Allah Swt.
Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia di sisi Allah Swt. itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy (dapat dipikirkan dan dimusyawarahkan karena
bukan wahyu), padahal
bisa
saja Rasulullah memaksakan pendapat beliau kepada para sahabat, dan sahabat
tentu akan menurut
saja. Tetapi itulah Rasulullah, manusia agung
yang tawadhu’
dan bijaksana.
Sikap rendah hati Rasulullah
hanya satu dari akhlak mulia lainnya, seperti
kesabaran dan lapang dada untuk memberi
maaf kepada semua orang
yang bersalah, baik
diminta atau pun tidak. Itulah Rasulullah, teladan. terbaik dalam berakhlak.
Dari ayat
al-Qur'an dan
hadis
Nabi
tersebut dapat dipahami bahwa musyawarah
termasuk
salah satu kebiasaan orang yang beriman. Hal ini perlu diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim terutama dalam hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan, misalnya: Hal yang sangat penting, sesuatu yang ada hubungannya dengan
orang banyak/ masyarakat, pengambilan keputusan dan lain-lain. Dalam kehidupan
bermasyarakat, musyawarah menjadi sangat penting
karena:
a. Permasalahan
yang sulit menjadi mudah setelah
dipecahkan oleh orang banyak lebih-lebih kalau yang
membahas orang yang ahli.
b. Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak.
c. Menghindari prasangka yang
negatif, terutama masalah yang ada
hubungannya dengan orang banyak
d. Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain
e.
Berlatih menghargai pendapat orang lain.
B. Demokrasi dan Syµra.
Selama ini demokrasi diidentikkan dengan syura dalam Islam karena adanya titik persamaan di antara keduanya.
Untuk melihat lebih jelas titik persamaan
tersebut, perlu kita lihat jati diri masing-masing dari keduanya.
1. Demokrasi
Secara kebahasaan, demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti kekuasaan.
Secara istilah, kata demokrasi ini dapat ditinjau dari dua segi makna Pertama, demokrasi dipahami sebagai suatu konsep yang berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan. menghendaki peletakan
kekuasaan
di tangan orang banyak (rakyat) baik secara langsung maupun dalam perwakilan.
Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu
konsep yang menghargai hak- hak dan kemampuan
individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa istilah
demokrasi awalnya berkembang
dalam dimensi politik yang tidak dapat dihindari. Secara historis, istilah
demokrasi memang berasal dari Barat. Namun jika
melihat dari
sisi
makna,
kandungan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan
oleh demokrasi itu
sendiri sebenarnya merupakan gejala
dan cita-cita
kemanusiaan secara universal
(umum, tanpa batas agama maupun etnis).
2. Syura
Menurut bahasa, dalam kamus Mu’jam Maqayis al-Lugah, syµra memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu. Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama terdahulu
telah memberikan
definisi syµra, di antara mereka adalah:
a. Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya
Al Mufradat fi Gharib al-Qur'an, mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan
saling mengoreksi antara peserta syµra”.
b. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam al-Qur'an,
mendefinisikannya dengan “berkumpul untuk meminta
pendapat (dalam suatu permasalahan) yang peserta syuranya saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki”.
c. Sedangkan definisi syµra yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer dalam asy Syura fi’illi Nizami al-Hukm al-Islami, di antaranya adalah
“proses menelusuri pendapat para
ahli dalam suatu permasalahan
untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”.
3. Titik Temu (Persamaan) antara Demokrasi dan Syura
Dari beberapa definisi Syura dan demokrasi di atas,dapat
melihat bahwa Syura hanya merupakan mekanisme
kebebasan berekspresi dan penyaluran pendapat dengan penuh keterbukaan dan
kejujuran.
Hal tersebut menjadi
pertanda adanya penghargaan
terhadap
pihak lain.
lain.
Sementara
demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. Demokrasi menyoal nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi
individu, penolakan terhadap kekuasaan tiran, dan memberi
kesempatan kepada
semua pihak untuk berpartisipasi
dalam mengurus pemerintahan.Secara tegas demokrasi bermain pada wilayah politik.
Jika demikian halnya, maka pada satu sisi syuro merupakan bagian
dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung
nilai-nilai yang diusung
demokrasi. Pada sisi lain,
nilai-nilai luhur yang
diusung
oleh
konsep
demokrasi
adalah
nilai-nilai
yang sejalan dengan visi Islam itu sendiri. Nilai Islami bukanlah sesuatu
yang berasal dari kaum muslimin saja (dari dalam), tetapi
semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Barat maupun Timur, karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur (diskriminasi), justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”.
Namun demikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam Islam
masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian dalam menyikapi konsep
demokrasi, ada baiknya kalian mengenali lebih
lanjut pandangan-pandangan para ulama tentang hal tersebut.
C. Pandangan Ulama (Intelektual Muslim) tentang Demokrasi.
Secara garis
besar, pandangan para ulama/cendekiawan
muslim
tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama,
menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:
1. Abul A’la Al-Maududi
Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi.
Menurutnya,
Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar
kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia
sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam
menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
2. Mohammad Iqbal
Menurut
Iqbal, sejalan
dengan
kemenangan sekularisme
atas agama,
demokrasi modern
menjadi
kehilangan
sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat
telah
mengabaikan keberadaan
agama. Parlemen
sebagai salah
satu pilar demokrasi
dapat saja
menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai
agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal
Islam tidak dapat
menerima model
demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah
konsep demokrasi spiritual yang dilandasi
oleh etik, dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi seperti yang dipraktekkan di Barat.
Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai
berikut
a) Tauhid sebagai
landasan asasi.
b)
Kepatuhan
pada hukum.
c) Toleransi sesama warga.
d) Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
e) Penafsiran hukum Tuhan melalui
ijtihad.
3. Muhammad Imarah
Menurut Imarah, Islam tidak
menerima demokrasi secara mutlak
dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan
legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara
mutlak berada
di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem
syura (Islam)
kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt..
Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang
manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum
sesuai
dengan prinsip yang
digariskan Tuhan serta berijtihad
untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi
sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi Barat berpulang pada
pandangan mereka tentang batas kewenangan
Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia
membiarkannya.
Dalam
filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan
legislatif dan eksekutif. Sementara,
dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah
hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’râf/7:54). Inilah batas yang membedakan
antara sistem syariah Islam dan
demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun
hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya
adalah sejalan dengan Islam.
4. Yusuf al-Qardhawi
Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini
bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut:
a) Dalam demokrasi
proses pemilihan melibatkan banyak
orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin
dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh
akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya.
b) Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan
nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada
pemimpin adalah
bagian dari ajaran
Islam.
c) Pemilihan umum termasuk
jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang
mestinya
layak dipilih
menjadi kalah dan suara
mayoritas jatuh
kepada
kandidat
yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah
Allah Swt. untuk memberikan
kesaksian pada saat dibutuhkan.
d) Penetapan hukum yang berdasarkan
suara
mayoritas juga
tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar
yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara,
lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara
yang keluar
tiga lawan tiga, mereka harus memilih
seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh
lain adalah penggunaan pendapat jumhur
ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja,
suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara
tegas.
e) Kebebasan pers
dan
kebebasan mengeluarkan pendapat, serta
otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam
demokrasi yang sejalan dengan Islam.
5. Salim Ali al-Bahasnawi
Menurut
Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi
mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi
negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan
dengan Islam. Sementara,
sisi
buruknya adalah
penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan
yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi
sebagai
berikut:
a) Menetapkan
tanggung jawab
setiap
individu
di hadapan Allah Swt.
b) Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas- tugas lainnya
c) Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan
dalam al-qur'an dan
Sunnah
(Q.S.an-Nisa(4):59) dan (Q.S.al-Ahzab(33):36).
d) Komitmen terhadap Islam terkait
dengan persyaratan jabatan
sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Pemimpin
Paling Demokratis di Mata
Dunia
Sebagai seorang pemimpin,
Nabi Muhammad saw. telah membuat
banyak sarjana dan tokoh Barat sangat
kagum
dan terpengaruh,
meskipun mereka tidak suka. Di antara mereka adalah:
1. Comte
de Boulainvilliers:” Muhammad adalah pemikir bebas (freethinker) dan pencipta agama rasional”.
2. Voltaire:”Muhammad adalah pemimpin yang
memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung”.
3. Radinson:“Muhammad adalah pengajar agama alami, wajar,
dan masuk
akal”.
4. Thomas Carlyle:“Muhammad adalah pahlawan kemanusiaan yang menyinar-kan cahaya Illahi”.
5. Hubert Grimme: “Muhammad adalah sosialis
yang sukses melakukan reformasi fisikal dan sosial”.
6. Goethe (sastrawan
besar
Jerman): “bagaikan sungai
besar
mengantarkan airnya mencapai lautan”.
7. George Bernard Shaw (pengarang Inggris terkenal): ”Muhammad telah mengangkat wanita menjadi
makhluk yang mulia.
8. Edward Gibbon: “Hal yang baik dari Muhammad ialah membuang jauh
kecongkakan seorang raja”.
Menerapkan
Perilaku Mulia
Perilaku demokratis yang harus
dibiasakan sebagai
implementasi dari ayat dan hadis
yang telah dibahas
antara lain sebagai
berikut:
1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat (tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala);
2. Menghargai pendapat orang lain;
3. Berlapang dada untuk saling memaafkan;
4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah;
5. Menerima keputusan bersama (hasil musyawarah) dengan ikhlas;
6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal;
7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama;
8. Menolak segala bentuk diskriminasi
atas nama apapun;
9. Berperan aktif dalam
bidang
politik sebagai bentuk partisipasi dalam
membangun bangsa
Klik " Berfikir Kritis "