Berpikir Kritis dan Bersikap Demoratis
  | 
| Demokrasi Dalam Islam | 
2. Demokrasi dalam Islam
A.   Pengertian Demokrasi 
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar,
sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik
suatu negara.
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang
diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan
oleh pemerintah negara tersebut.
Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan
oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah
wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala
kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan
negara.
 
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 
 
 
 
Di dalam
al-qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi pesan-pesan mulia tentang bersikap
 demokratis, tentang musyawarah
 dan  toleransi  dalam 
perbedaan.
Sebelum dijelaskan isi kandungannya, sebaiknya dibaca terlebih dahulu
Qs. Ali Imran (3) : 159 di bawah ini dengan tartil, kemudian
dihafal!
1. Baca dengan Tartil Ayat-ayat al-Qur'an dan Terjemahnya yang Mengandung Pesan Sikap Demokratis.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:”Maka  disebabkan  rahmat  dari Allah-lah kamu
 berlaku 
lemah  lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S.ali
Imran(3):159)
 2.   Penerapan Tajwid:
 Pelajari hukum tajwid pada tabel berikut!
 
 
  | 
     
  Kalimat 
   | 
  
     
  Hukum Bacaan 
   | 
  
     
  Alasan 
   | 
 
 
  | 
   فَبِمَا 
    
   | 
  
   Mad Tabi’i 
   | 
  
   Fathah diikuti Alif 
   | 
 
 
  | 
     
  رَحْمَةٍ مِنَ 
    
   | 
  
     
  Idgam Bigunnah 
   | 
  
     
  Tanwin diikuti huruf Mim 
   | 
 
 
  | 
   لِنْتَ 
    
   | 
  
   Ikhfa 
   | 
  
   Nun sukun diikuti huruf
  Ta 
   | 
 
 
  | 
   فَظًّا غَلِيظَ 
    
   | 
  
   Idhar 
   | 
  
   Tanwin diikuti huruf Ghain 
   | 
 
 
  | 
   لانْفَضُّوا 
   | 
  
   Ikhfa 
   | 
  
   Nun sukun diikuti huruf Fa’ 
   | 
 
 
  | 
   مِنْ حَوْلِكَ 
    
   | 
  
   Idhar 
   | 
  
   Nun sukun diikuti huruf Ha 
   | 
 
 
  | 
   عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ 
    
   | 
  
   Idhar Syafawi 
   | 
  
   Mim sukun diikuti huruf 
  Wawu 
   | 
 
 
  | 
   فِي الأمْرِ 
   | 
  
     
  Idhar Qamar³yah 
   | 
  
     
  Alif Lam sukun diikuti huruf 
  Hamzah 
   | 
 
 
  | 
     
  عَلَى اللَّهِ 
    
   | 
  
     
  Lam Tafkhim 
   | 
  
   Lafaz Jalalah datang setelah fathah 
   | 
 
 
  | 
     
  الْمُتَوَكِّلِينَ 
    
   | 
  
     
  Mad ‘arid Lissukun 
   | 
  
   Mad Thabi’I diikuti huruf hidup lalu dibaca waqaf 
   | 
 
 
Arti Perkata atau Mufrodat
 
  | 
     
  Kata 
   | 
  
     
  Arti 
   | 
  
     
  Kata 
   | 
  
     
  Arti 
   | 
 
 
  | 
     
  فَبِمَا رَحْمَةٍ 
    
   | 
  
   Karena kasih sayang/
  rahmat 
   | 
  
     
  وَاسْتَغْفِرْ 
  
  
   | 
  
   Dan mintakanlah ampunan 
   | 
 
 
  | 
   مِنَ اللَّهِ 
    
   | 
  
   Dari Allah 
   | 
  
   لَهُمْ 
   | 
  
   Untuk mereka 
   | 
 
 
  | 
   لِنْتَ 
    
   | 
  
   Kamu bersikap lemah lembut 
   | 
  
   وَشَاوِرْهُمْ 
   | 
  
   Dan bermusyawa-rah-lah dengan mereka 
   | 
 
 
  | 
   لَهُمْ 
   | 
  
     
  Kepada mereka 
   | 
  
   فِي الأمْرِ 
    
   | 
  
   Dalam segala
  urusan itu 
   | 
 
 
  | 
   وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا 
   | 
  
   dan sekiranya kamu kasar (dalam perkataan) 
   | 
  
   فَإِذَا 
    
   | 
  
   Maka apabila 
   | 
 
 
  | 
   غَلِيظَ الْقَلْبِ 
    
   | 
  
   Keras hati 
   | 
  
   عَزَمْتَ 
    
   | 
  
   Kamu bertekad bulat 
   | 
 
 
  | 
   لانْفَضُّوا 
   | 
  
   Niscaya mereka
  bubar/menjauh 
   | 
  
   فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ 
   | 
  
   Bertawakkallah kepada Allah 
   | 
 
 
  | 
   مِنْ حَوْلِكَ 
    
   | 
  
   Dari hadapanmu/ 
  Sekelilingmu 
   | 
  
   إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ 
    
   | 
  
   Sesungguhnya Allah mencintai 
   | 
 
 
  | 
   فَاعْفُ عَنْهُمْ 
   | 
  
   Maka maafkanlah
  mereka 
   | 
  
   الْمُتَوَكِّلِينَ 
    
   | 
  
   Orang-orang yang bertawakal 
   | 
 
 
4.   Asbabun Nuzul
Sebab-sebab
turunnya ayat
159 surat Ali-Imran ini kepada  Nabi
Muhammad saw. sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a., Ibnu Abas r.a. menjelaskan bahwasanya setelah terjadi
perang Badar Rasulullah mengadakan
musyawarah dengan Abu
 Bakar r.a. dan
 Umar  bin Khatab r.a. untuk meminta
 pendapat mereka  tentang para 
tawanan  perang
Badar. 
Abu Bakar r.a. berpendapat, mereka    sebaiknya   
dikembalikan kepada keluarga
mereka dan keluarga
mereka membayar  tebusan.  Namun Umar bin Khatab r.a. berpendapat, mereka sebaiknya
dibunuh dan yang diperintah  membunuh adalah  keluarga
mereka. Rasulullah saw. kesulitan dalam
memutuskan, kemudian  turun ayat 159 surat
Ali-Imran ini  sebagai   dukungan
atas pendapat Abu Bakar r.a.(HR.Kalabi).
 
5.   Penjelasan/Tafsir
Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti
terjadinya
 pelanggaran yang
 dilakukan  oleh  sebagian
 kaum  muslimin
dalam perang  Uhud
sehingga  menyebabkan kaum muslimin
menderita
kekalahan,  tetapi
 Rasulullah saw. tetap  lemah  lembut  dan  tidak marah
terhadap para pelanggar, bahkan memaafkan
 dan memohonkan ampun
untuk mereka. Seandainya Rasulullah bersikap keras, tentu
 mereka akan menaruh  benci
kepada  beliau. Dalam pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa  memberi maaf terhadap orang yang berbuat salah serta
memohonkan ampun  kepada
 Allah Swt. terhadap kesalahan-kesalahan mereka.
Di samping  itu, Rasulullah saw juga senantiasa
 bermusyawarah dengan
para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin
patuh  terhadap keputusan-
yang diperoleh  tersebut, karena merupakan
 keputusan mereka bersama Rasulullah saw. Mereka tetap  berjuang  dengan tekad yang bulat di jalan Allah Swt.. Keluhuran budi  Rasulullah saw inilah
yang  menarik
 simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik sehingga mau masuk Islam.
 Dalam ayat 
di atas  tertera  tiga  sifat dan  sikap yang
 secara  berurutan
disebut  dan
diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum 
bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak
kasar, dan tidak
berhati  keras. Meskipun ayat tersebut berbicara
 dalam
 konteks  perang
 uhud, tetapi  esensi 
sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim,
terutama ketika hendak bermusyawarah.
 Sedangkan   sikap  yang
 harus
 diambil
 setelah  
bermusyawarah adalah memberi maaf kepada  semua
peserta  musyawarah, apapun bentuk kesalahannya. Jika semua peserta musyawarah bersikap“memaafkan”maka yang terjadi
adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada
lagi sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di
luar musyawarah, baik karena pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain.
 Dalam  al-Qur'an terdapat  banyak
 ayat
 yang  berbicara   tentang  nilai- nilai dalam demokrasi
 seperti  dalam
Firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-
Isra(/17):70,  Q.S. al-Baqarah(2):30, Q.S. alHujirat(49):13, Q.S. asy-Syura(42):38 serta  berbagai
 surat  lain.
Inti dari semua
 ayat  tersebut membicarakan bagaimana menghargai
perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah  dan  lain
sebagainya  yang  merupakan
 unsur-unsur  dalam
demokrasi.
 Di samping  ayat-ayat
 tersebut, banyak juga hadis Rasulullah yang mengisyaratkan pentingnya  demokrasi,  karena  beliau  dikenal  sebagai pemimpin   yang
 paling
 demokratis.  Di antaranya   adalah   hadis  yang menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling suka bermusyawarah dalam banyak hal, seperti hadits berikut:
 Artrinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku tak pernah melihat
seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat dari pada Rasulullah saw.” . [HR. at-Tirmidzi].
 Hadis di  atas  menjelaskan  bahwa  menurut 
 pandangan para
 sahabat, Rasulullah saw adalah  orang
 yang 
paling  suka bermusyawarah.  Dalam banyak urusan 
yang penting  beliau senantiasa
 melibatkan
 para sahabat untuk dimintai pendapatnya, seperti dalam urusan
strategi perang. Sikap Rasulullah tersebut menunjukkan salah satu bentuk kebesaran jiwa beliau dan
 kerendahan
 hatinya  (tawadhu’),  meskipun   memiliki  status  
sosial paling tinggi dibanding seluruh
umat manusia, yaitu sebagai utusan Allah Swt.
 Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia di sisi Allah Swt. itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam  urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy (dapat dipikirkan dan dimusyawarahkan karena
 bukan  wahyu), padahal
 bisa
 saja  Rasulullah memaksakan  pendapat beliau kepada  para sahabat, dan  sahabat
 tentu akan menurut
saja. Tetapi itulah Rasulullah, manusia agung
yang tawadhu’
dan bijaksana.
 Sikap rendah  hati Rasulullah
hanya satu dari akhlak mulia lainnya, seperti
kesabaran  dan lapang  dada  untuk  memberi
 maaf kepada  semua  orang
yang  bersalah,  baik
diminta  atau  pun  tidak.   Itulah Rasulullah, teladan. terbaik dalam berakhlak.
 Dari ayat
 al-Qur'an dan
 hadis
 Nabi
 tersebut  dapat   dipahami   bahwa musyawarah
 termasuk
 salah satu kebiasaan  orang yang beriman. Hal ini perlu diterapkan
 dalam kehidupan  sehari-hari seorang  muslim terutama dalam hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan,  misalnya: Hal yang sangat  penting, sesuatu  yang ada hubungannya dengan
orang  banyak/ masyarakat,  pengambilan  keputusan  dan  lain-lain. Dalam  kehidupan
bermasyarakat, musyawarah menjadi sangat penting
 karena:
a.  Permasalahan
yang sulit menjadi  mudah  setelah
 dipecahkan  oleh orang banyak lebih-lebih kalau yang
 membahas orang yang ahli.
b.   Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak.
c. Menghindari prasangka yang
 negatif, terutama masalah  yang  ada
hubungannya dengan orang banyak
d.    Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain 
e. 
 Berlatih menghargai pendapat orang lain.
 B.   Demokrasi dan Syµra.
Selama ini demokrasi diidentikkan dengan syura dalam Islam karena adanya titik persamaan di antara keduanya.
 Untuk melihat lebih jelas titik persamaan
tersebut, perlu kita lihat jati diri masing-masing dari keduanya.
1. Demokrasi
 Secara kebahasaan, demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti kekuasaan.
Secara istilah, kata demokrasi ini dapat ditinjau dari dua segi makna Pertama, demokrasi  dipahami  sebagai  suatu  konsep  yang berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan. menghendaki peletakan
 kekuasaan
di tangan orang banyak (rakyat) baik secara langsung maupun dalam perwakilan.
 Kedua, demokrasi  dimaknai sebagai suatu  
konsep   yang  menghargai  hak- hak dan kemampuan
individu dalam kehidupan  bermasyarakat.
 Dari definisi ini dapat  dipahami  bahwa istilah
demokrasi  awalnya berkembang
dalam dimensi politik yang tidak dapat dihindari. Secara  historis,  istilah
 demokrasi memang berasal dari Barat. Namun jika
melihat   dari
 sisi
 makna,  
kandungan nilai-nilai   yang   ingin   diperjuangkan
oleh  demokrasi  itu
sendiri  sebenarnya merupakan gejala
dan cita-cita
kemanusiaan secara  universal 
(umum, tanpa batas agama maupun etnis).
 2.   Syura
Menurut bahasa,  dalam kamus Mu’jam Maqayis al-Lugah, syµra memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu  atau mengambil sesuatu. Sedangkan menurut  istilah, beberapa ulama terdahulu
telah memberikan
definisi syµra, di antara mereka adalah:
a. Ar-Raghib  al-Ashfahani dalam  kitabnya
Al Mufradat fi Gharib al-Qur'an,        mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan
saling mengoreksi antara peserta syµra”.
b.  Ibnu  al-Arabi al-Maliki dalam  Ahkam al-Qur'an,
 mendefinisikannya dengan “berkumpul untuk  meminta
 pendapat (dalam suatu permasalahan) yang peserta  syuranya saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki”.
c. Sedangkan definisi syµra yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer dalam  asy Syura fi’illi Nizami al-Hukm al-Islami, di antaranya  adalah
“proses menelusuri  pendapat para 
ahli dalam  suatu  permasalahan
untuk mencapai solusi yang mendekati  kebenaran”.
3.   Titik Temu (Persamaan) antara Demokrasi dan Syura 
 Dari beberapa definisi Syura dan demokrasi di atas,dapat
melihat bahwa Syura  hanya merupakan mekanisme
kebebasan berekspresi dan penyaluran    pendapat dengan penuh  keterbukaan dan 
 kejujuran.
Hal tersebut  menjadi
 pertanda adanya  penghargaan
 terhadap
 pihak lain.
 
  
 
  
 
  
 
  
 lain.  
Sementara
 demokrasi, menjangkau ruang  lingkup yang lebih luas. Demokrasi menyoal  nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi
individu, penolakan terhadap kekuasaan tiran, dan  memberi
 kesempatan kepada
semua pihak untuk berpartisipasi
dalam mengurus pemerintahan.Secara tegas demokrasi bermain pada wilayah politik.
 Jika demikian halnya, maka pada  satu sisi syuro merupakan  bagian
 dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung
nilai-nilai yang diusung
demokrasi. Pada sisi lain,
nilai-nilai luhur  yang
 diusung
 oleh
 konsep
 demokrasi
 adalah
 nilai-nilai
yang sejalan dengan visi Islam itu sendiri. Nilai Islami bukanlah  sesuatu
yang berasal dari kaum muslimin saja (dari dalam), tetapi
semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Barat maupun Timur, karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur (diskriminasi), justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”.
 Namun demikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam Islam
masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian dalam menyikapi konsep 
demokrasi, ada baiknya kalian mengenali  lebih
lanjut pandangan-pandangan para ulama tentang hal tersebut.
 C.   Pandangan Ulama (Intelektual Muslim) tentang Demokrasi.
 Secara  garis
 besar,  pandangan para  ulama/cendekiawan
 muslim
 tentang demokrasi terbagi  menjadi  dua pandangan utama,  yaitu; pertama,
 menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:
 1.   Abul A’la Al-Maududi
 Al-Maududi secara  tegas  menolak  demokrasi.
 Menurutnya,
 Islam tidak mengenal paham  demokrasi yang memberikan  kekuasaan besar
kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia
sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam
menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
 2.   Mohammad Iqbal
 Menurut
 Iqbal,  sejalan
 dengan 
kemenangan sekularisme
 atas  agama,
demokrasi  modern
 menjadi
 kehilangan
 sisi spiritualnya  sehingga  jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan  kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan  
untuk   rakyat
 telah 
 mengabaikan  keberadaan
 agama.   Parlemen
sebagai  salah
satu pilar demokrasi
 dapat  saja
menetapkan hukum  yang bertentangan dengan nilai
agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut  Iqbal
Islam tidak dapat
 menerima  model
demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan  sebuah 
konsep demokrasi spiritual yang dilandasi
oleh etik, dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan  demokrasi  seperti yang dipraktekkan di Barat.
 Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai
berikut
a)   Tauhid sebagai
landasan asasi. 
b)
 Kepatuhan
pada hukum.
c)   Toleransi sesama warga.
d)  Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
e)   Penafsiran hukum Tuhan melalui
ijtihad.
 3.   Muhammad Imarah
 Menurut Imarah, Islam tidak
menerima  demokrasi secara mutlak
dan juga tidak menolaknya  secara  mutlak. Dalam demokrasi,  kekuasaan
legislatif (membuat dan  menetapkan hukum)  secara
 mutlak berada
di tangan  rakyat. Sementara,  dalam  sistem
 syura (Islam)
kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt..
 Dialah pemegang kekuasaan hukum  tertinggi. Wewenang  
manusia  hanyalah  menjabarkan dan merumuskan  hukum
 sesuai
 dengan prinsip  yang
 digariskan  Tuhan serta berijtihad
untuk sesuatu  yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi
sebagai  al-Syâri’ (legislator) sementara manusia  berposisi sebagai  faqîh (yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi Barat berpulang pada
 pandangan mereka  tentang batas kewenangan
Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam,  Dia
membiarkannya. 
 Dalam 
filsafat Barat,  manusia  memiliki kewenangan
legislatif dan  eksekutif. Sementara,
 dalam  pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan  dan
memerintah  hanyalah 
hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’râf/7:54). Inilah batas yang membedakan
antara  sistem syariah Islam dan
demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun
hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya
 adalah sejalan dengan Islam.
 4.   Yusuf al-Qardhawi
 Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini
bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut:
 a)  Dalam  demokrasi
 proses  pemilihan   melibatkan   banyak
 orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin
dan mengurus keadaan  mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh 
akan memilih sesuatu  yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak
 seseorang  menjadi  imam salat yang  tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya.
 b) Usaha setiap rakyat untuk meluruskan  penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan
nahi mungkar serta memberikan  nasihat kepada 
pemimpin  adalah
bagian dari ajaran
Islam.
 
 
  
 
  
 
  
 
  
 c) Pemilihan  umum   termasuk  
jenis  pemberian  saksi. Karena  itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat  yang
 mestinya
 layak dipilih
menjadi  kalah  dan  suara
mayoritas  jatuh
 kepada
 kandidat
 yang  sebenarnya tidak  layak, berarti ia telah menyalahi perintah
 Allah Swt. untuk memberikan
kesaksian pada saat dibutuhkan.
 
d) Penetapan hukum  yang berdasarkan
 suara 
mayoritas  juga
tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar
yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat  khalifah dan sekaligus memilih salah seorang  di antara mereka untuk menjadi
khalifah berdasarkan  suara terbanyak. Sementara,
 lainnya yang  tidak terpilih harus  tunduk  dan  patuh. Jika suara
 yang  keluar 
tiga  lawan  tiga,  mereka  harus  memilih
seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh 
lain adalah  penggunaan pendapat jumhur
 ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja,
suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara
tegas.
 e)   Kebebasan  pers
 dan
 kebebasan mengeluarkan pendapat, serta
otoritas  pengadilan merupakan   sejumlah  hal  dalam
 demokrasi yang sejalan dengan Islam.
 5.   Salim Ali al-Bahasnawi
Menurut
 Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi
 mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat  sisi
negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan
dengan Islam. Sementara,
sisi
buruknya adalah
penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada  sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan
yang haram. Karena  itu,  ia  menawarkan   adanya   Islamisasi  demokrasi 
 sebagai
berikut:
a)  Menetapkan
 tanggung jawab
 setiap
 individu
 di hadapan Allah Swt.
b) Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas- tugas lainnya
c) Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan  
dalam  al-qur'an dan
 Sunnah
 (Q.S.an-Nisa(4):59)  dan (Q.S.al-Ahzab(33):36).
d)  Komitmen  terhadap Islam terkait
 dengan persyaratan   jabatan
sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
 Pemimpin
Paling Demokratis di Mata
Dunia
 Sebagai seorang pemimpin,
Nabi Muhammad  saw. telah membuat
banyak sarjana dan tokoh  Barat sangat
 kagum 
dan terpengaruh,
meskipun mereka tidak suka. Di antara mereka adalah:
 1. Comte
de Boulainvilliers:” Muhammad adalah pemikir bebas (freethinker) dan pencipta agama rasional”.
2. Voltaire:”Muhammad adalah pemimpin yang
memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung”.
3.   Radinson:“Muhammad adalah pengajar agama alami, wajar,
 dan masuk
akal”.
4. Thomas Carlyle:“Muhammad adalah pahlawan kemanusiaan yang menyinar-kan cahaya Illahi”.
5. Hubert Grimme: “Muhammad adalah sosialis
yang sukses melakukan reformasi fisikal dan sosial”.
6.  Goethe    (sastrawan  
 besar  
 Jerman):    “bagaikan    sungai  
 besar
mengantarkan airnya mencapai lautan”.
7. George Bernard Shaw (pengarang Inggris terkenal): ”Muhammad telah mengangkat wanita menjadi
makhluk yang mulia.
8. Edward Gibbon: “Hal yang baik dari Muhammad ialah membuang jauh
kecongkakan seorang raja”.
 
Menerapkan
Perilaku Mulia
 Perilaku demokratis  yang harus
dibiasakan  sebagai
 implementasi  dari ayat dan hadis
yang telah dibahas
antara lain sebagai
berikut:
1. Bersikap lemah lembut  jika hendak  menyampaikan pendapat (tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala);
2.  Menghargai pendapat orang lain;
3.  Berlapang dada untuk saling memaafkan;
4.  Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah;
5.  Menerima keputusan bersama (hasil musyawarah) dengan ikhlas;
6.  Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal;
7.  Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut  kemaslahatan bersama;
8.  Menolak segala bentuk diskriminasi
atas nama apapun;
9. Berperan   aktif  dalam 
 bidang 
 politik  sebagai   bentuk   partisipasi   dalam
membangun bangsa
 Klik " Berfikir Kritis "