Berpikir Kritis dan Bersikap Demoratis
Demokrasi Dalam Islam |
2. Demokrasi dalam Islam
A. Pengertian Demokrasi
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar,
sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik
suatu negara.
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang
diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan
oleh pemerintah negara tersebut.
Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan
oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah
wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala
kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan
negara.
1. Baca dengan Tartil Ayat-ayat al-Qur'an dan Terjemahnya yang Mengandung Pesan Sikap Demokratis.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S.ali Imran(3):159)
2. Penerapan Tajwid:
Pelajari hukum tajwid pada tabel berikut!
Kalimat |
Hukum Bacaan |
Alasan |
فَبِمَا |
Mad Tabi’i |
Fathah diikuti Alif |
رَحْمَةٍ مِنَ |
Idgam Bigunnah |
Tanwin diikuti huruf Mim |
لِنْتَ |
Ikhfa |
Nun sukun diikuti huruf
Ta |
فَظًّا غَلِيظَ |
Idhar |
Tanwin diikuti huruf Ghain |
لانْفَضُّوا |
Ikhfa |
Nun sukun diikuti huruf Fa’ |
مِنْ حَوْلِكَ |
Idhar |
Nun sukun diikuti huruf Ha |
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ |
Idhar Syafawi |
Mim sukun diikuti huruf Wawu |
فِي الأمْرِ |
Idhar Qamar³yah |
Alif Lam sukun diikuti huruf Hamzah |
عَلَى اللَّهِ |
Lam Tafkhim |
Lafaz Jalalah datang setelah fathah |
الْمُتَوَكِّلِينَ |
Mad ‘arid Lissukun |
Mad Thabi’I diikuti huruf hidup lalu dibaca waqaf |
Arti Perkata atau Mufrodat
Kata |
Arti |
Kata |
Arti |
فَبِمَا رَحْمَةٍ |
Karena kasih sayang/
rahmat |
وَاسْتَغْفِرْ |
Dan mintakanlah ampunan |
مِنَ اللَّهِ |
Dari Allah |
لَهُمْ |
Untuk mereka |
لِنْتَ |
Kamu bersikap lemah lembut |
وَشَاوِرْهُمْ |
Dan bermusyawa-rah-lah dengan mereka |
لَهُمْ |
Kepada mereka |
فِي الأمْرِ |
Dalam segala
urusan itu |
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا |
dan sekiranya kamu kasar (dalam perkataan) |
فَإِذَا |
Maka apabila |
غَلِيظَ الْقَلْبِ |
Keras hati |
عَزَمْتَ |
Kamu bertekad bulat |
لانْفَضُّوا |
Niscaya mereka
bubar/menjauh |
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ |
Bertawakkallah kepada Allah |
مِنْ حَوْلِكَ |
Dari hadapanmu/ Sekelilingmu |
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ |
Sesungguhnya Allah mencintai |
فَاعْفُ عَنْهُمْ |
Maka maafkanlah
mereka |
الْمُتَوَكِّلِينَ |
Orang-orang yang bertawakal |
4. Asbabun Nuzul
Sebab-sebab
turunnya ayat
159 surat Ali-Imran ini kepada Nabi
Muhammad saw. sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a., Ibnu Abas r.a. menjelaskan bahwasanya setelah terjadi
perang Badar Rasulullah mengadakan
musyawarah dengan Abu
Bakar r.a. dan
Umar bin Khatab r.a. untuk meminta
pendapat mereka tentang para
tawanan perang
Badar.
Abu Bakar r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada keluarga mereka dan keluarga mereka membayar tebusan. Namun Umar bin Khatab r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah keluarga mereka. Rasulullah saw. kesulitan dalam memutuskan, kemudian turun ayat 159 surat Ali-Imran ini sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar r.a.(HR.Kalabi).
5. Penjelasan/Tafsir
Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita kekalahan, tetapi Rasulullah saw. tetap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar, bahkan memaafkan dan memohonkan ampun untuk mereka. Seandainya Rasulullah bersikap keras, tentu mereka akan menaruh benci kepada beliau. Dalam pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa memberi maaf terhadap orang yang berbuat salah serta memohonkan ampun kepada Allah Swt. terhadap kesalahan-kesalahan mereka.
Di samping itu, Rasulullah saw juga senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin patuh terhadap keputusan- yang diperoleh tersebut, karena merupakan keputusan mereka bersama Rasulullah saw. Mereka tetap berjuang dengan tekad yang bulat di jalan Allah Swt.. Keluhuran budi Rasulullah saw inilah yang menarik simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik sehingga mau masuk Islam.
Dalam ayat di atas tertera tiga sifat dan sikap yang secara berurutan disebut dan diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Meskipun ayat tersebut berbicara dalam konteks perang uhud, tetapi esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim, terutama ketika hendak bermusyawarah.
Sedangkan sikap yang harus diambil setelah bermusyawarah adalah memberi maaf kepada semua peserta musyawarah, apapun bentuk kesalahannya. Jika semua peserta musyawarah bersikap“memaafkan”maka yang terjadi adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di luar musyawarah, baik karena pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain.
Dalam al-Qur'an terdapat banyak ayat yang berbicara tentang nilai- nilai dalam demokrasi seperti dalam Firman Allah Swt. di dalam Q.S. al- Isra(/17):70, Q.S. al-Baqarah(2):30, Q.S. alHujirat(49):13, Q.S. asy-Syura(42):38 serta berbagai surat lain. Inti dari semua ayat tersebut membicarakan bagaimana menghargai perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah dan lain sebagainya yang merupakan unsur-unsur dalam demokrasi.
Di samping ayat-ayat tersebut, banyak juga hadis Rasulullah yang mengisyaratkan pentingnya demokrasi, karena beliau dikenal sebagai pemimpin yang paling demokratis. Di antaranya adalah hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling suka bermusyawarah dalam banyak hal, seperti hadits berikut:
Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia di sisi Allah Swt. itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy (dapat dipikirkan dan dimusyawarahkan karena bukan wahyu), padahal bisa saja Rasulullah memaksakan pendapat beliau kepada para sahabat, dan sahabat tentu akan menurut saja. Tetapi itulah Rasulullah, manusia agung yang tawadhu’ dan bijaksana.
Sikap rendah hati Rasulullah hanya satu dari akhlak mulia lainnya, seperti kesabaran dan lapang dada untuk memberi maaf kepada semua orang yang bersalah, baik diminta atau pun tidak. Itulah Rasulullah, teladan. terbaik dalam berakhlak.
a. Permasalahan yang sulit menjadi mudah setelah dipecahkan oleh orang banyak lebih-lebih kalau yang membahas orang yang ahli.
b. Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak.
c. Menghindari prasangka yang
negatif, terutama masalah yang ada
hubungannya dengan orang banyak
d. Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain
e.
Berlatih menghargai pendapat orang lain.
B. Demokrasi dan Syµra.
Selama ini demokrasi diidentikkan dengan syura dalam Islam karena adanya titik persamaan di antara keduanya. Untuk melihat lebih jelas titik persamaan tersebut, perlu kita lihat jati diri masing-masing dari keduanya.
1. Demokrasi
Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang menghargai hak- hak dan kemampuan individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa istilah demokrasi awalnya berkembang dalam dimensi politik yang tidak dapat dihindari. Secara historis, istilah demokrasi memang berasal dari Barat. Namun jika melihat dari sisi makna, kandungan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan cita-cita kemanusiaan secara universal (umum, tanpa batas agama maupun etnis).
2. Syura
Menurut bahasa, dalam kamus Mu’jam Maqayis al-Lugah, syµra memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu. Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama terdahulu
telah memberikan
definisi syµra, di antara mereka adalah:
a. Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al Mufradat fi Gharib al-Qur'an, mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan saling mengoreksi antara peserta syµra”.
b. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam al-Qur'an,
mendefinisikannya dengan “berkumpul untuk meminta
pendapat (dalam suatu permasalahan) yang peserta syuranya saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki”.
c. Sedangkan definisi syµra yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer dalam asy Syura fi’illi Nizami al-Hukm al-Islami, di antaranya adalah
“proses menelusuri pendapat para
ahli dalam suatu permasalahan
untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”.
3. Titik Temu (Persamaan) antara Demokrasi dan Syura
Dari beberapa definisi Syura dan demokrasi di atas,dapat melihat bahwa Syura hanya merupakan mekanisme kebebasan berekspresi dan penyaluran pendapat dengan penuh keterbukaan dan kejujuran. Hal tersebut menjadi pertanda adanya penghargaan terhadap pihak lain.
Sementara demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. Demokrasi menyoal nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi individu, penolakan terhadap kekuasaan tiran, dan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam mengurus pemerintahan.Secara tegas demokrasi bermain pada wilayah politik.
Jika demikian halnya, maka pada satu sisi syuro merupakan bagian dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang diusung demokrasi. Pada sisi lain, nilai-nilai luhur yang diusung oleh konsep demokrasi adalah nilai-nilai yang sejalan dengan visi Islam itu sendiri. Nilai Islami bukanlah sesuatu yang berasal dari kaum muslimin saja (dari dalam), tetapi semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Barat maupun Timur, karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur (diskriminasi), justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”.
C. Pandangan Ulama (Intelektual Muslim) tentang Demokrasi.
Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:
1. Abul A’la Al-Maududi
Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
2. Mohammad Iqbal
Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut
a) Tauhid sebagai
landasan asasi.
b)
Kepatuhan
pada hukum.
c) Toleransi sesama warga.
d) Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
e) Penafsiran hukum Tuhan melalui
ijtihad.
3. Muhammad Imarah
Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’râf/7:54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
b) Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
d) Penetapan hukum yang berdasarkan
suara
mayoritas juga
tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar
yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara,
lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara
yang keluar
tiga lawan tiga, mereka harus memilih
seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh
lain adalah penggunaan pendapat jumhur
ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja,
suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara
tegas.
e) Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Menurut
Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi
mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi
negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan
dengan Islam. Sementara,
sisi
buruknya adalah
penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan
yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi
sebagai
berikut:
a) Menetapkan
tanggung jawab
setiap
individu
di hadapan Allah Swt.
b) Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas- tugas lainnya
c) Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan
dalam al-qur'an dan
Sunnah
(Q.S.an-Nisa(4):59) dan (Q.S.al-Ahzab(33):36).
d) Komitmen terhadap Islam terkait
dengan persyaratan jabatan
sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Pemimpin Paling Demokratis di Mata Dunia
2. Voltaire:”Muhammad adalah pemimpin yang
memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung”.
3. Radinson:“Muhammad adalah pengajar agama alami, wajar,
dan masuk
akal”.
4. Thomas Carlyle:“Muhammad adalah pahlawan kemanusiaan yang menyinar-kan cahaya Illahi”.
5. Hubert Grimme: “Muhammad adalah sosialis
yang sukses melakukan reformasi fisikal dan sosial”.
6. Goethe (sastrawan
besar
Jerman): “bagaikan sungai
besar
mengantarkan airnya mencapai lautan”.
7. George Bernard Shaw (pengarang Inggris terkenal): ”Muhammad telah mengangkat wanita menjadi
makhluk yang mulia.
8. Edward Gibbon: “Hal yang baik dari Muhammad ialah membuang jauh
kecongkakan seorang raja”.
Menerapkan
Perilaku Mulia
Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut:
1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat (tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala);
2. Menghargai pendapat orang lain;
3. Berlapang dada untuk saling memaafkan;
4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah;
5. Menerima keputusan bersama (hasil musyawarah) dengan ikhlas;
6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal;
7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama;
8. Menolak segala bentuk diskriminasi
atas nama apapun;
9. Berperan aktif dalam
bidang
politik sebagai bentuk partisipasi dalam
membangun bangsa
Klik " Berfikir Kritis "