Iklan

Wednesday, 21 June 2017

Hukum,Cara Sholat Idul Fitri dan sunah-sunahnya



Hukum, dan Cara Sholat Idul Fitri serta sunah-sunahnya

A. Hukum Sholat idul Fitri
Hukum,Cara sholat idul fitri &sunahnya
Apakah Hukum mengerjakan sholat idul fitri, mengingat demikian antusias dan bersemangatnya kaum  muslimin baik tua maupun muda, besar atau kecil, pria atau wanita berbondong-bondong menuju masjid atau lapangan guna melaksanakan shalat ini.

Hukum sholat idul fitri adalah sunah Muakadah ( yang diutamakan) berdasarkan hadist, Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa suatu kafilah telah datang,

lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat sholat mereka. (Hr. Ahmad dan Abu Dawud).

B. Cara Sholat Sunah Idul Fitri
Shalat sunat idul fitri pada dasarnya tidaklah jauh berbeda dengan sholat fardu atau sholat sunat lainnya hanya yang membedakannya adalah :

1.   Waktunya di pagi hari setelah matahari terbit ditanggal 1 syawal,
2.   Dilaksanakan Hanya setahun sekali
3.   Dikerjakan secara berjama’ah,
4.   Setelah sholat dilaksanakan khotib naik mimbar untuk berkhutbah.
5.   Dapat dilaksanakan d masjid atau di lapangan

Cara melaksanakan sholat sunah Idul Fitri berjamaah adalah :
1.   Niat Akan melaksanakan sholat sunah idul fitri karna Allah swt
2.   Membaca takbiratul Ihrom sambil mngangkat dua tangan kemudian bersedkap.
3.   Membaca do’a Iftitah
4.   Membaca takbir 7 kali pada rekaat pertama dan 5 kali pada rakaat kedua berdasarkan hadist nabi saw:

Dari Amar Ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Takbir dalam sholat hari raya Fithri adalah tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua, dan bacalah al-fatihah dan surat adalah setelah kedua-duanya." Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi mengutipnya dari shahih Bukhari.

5.   Dan diantara takbir tersebut boleh diam saja boleh pula membaca tasbih (subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (la ilaha ila Allah)  dan takbir (Allahu Akbar)
6.   Membaca surat Al-Fatihah

7.   Membaca Surat Al-A’la(87) atau Qaf pada rekaat pertama dan Surat Abasa(88) atau Iqtarabat pada rakaat kedua atau surat lainnya yang imam hafal lancar

8.   Ruku,sebagaimana sholat lima waktu  
9.   I’tidal sebagaimana sholat lima waktu 

10.Sujud sebagaimana sholat lima waktu
11.Duduk Iftirosy antara dua sujud sebagaimana sholat lima waktu
12.Sujud kemabali sebagaimana sholat lima waktu

13. Berdiri dan lakukan rekaat kedua dengan diawali 5 takbir dan seterusnya tidak berbeda dengan rakaat pertama sebagaimana sholat lima waktu.

14. Duduk tawaruk (tashahud ahir ) dan membaca tahiyat
15. Membaca salam dua kali dan menoleh kekanan dan kekiri.

C. Sunah-sunah Idul Fitri
Berikut ini amalan-amalan sunah yang di contohkan dan dianjurkan Rasulullah saw untuk dikerjakan yang berkaitan dengan sholat idul fitri yaitu :

#1. Mandi seperti mandi wajib sebelum berangkat sholat 
#2. Disunahkan untuk sarapan sebelum sholat idul fitri berdasarkan hadist Nabi saw Dan Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak keluar pada hari raya Fithri sebelum makan dan tidak makan pada hari raya Adlha sebelum sholat. (Hr. Ahmad dan Tirmidzi).

#3. Memakai pakaian yang terbaik dan bagi laki-laki disuanahakan mnggunakan harum-haruaman

#4. Berjalan kaki sambil membaca kalimat takbiran untuk mengagungkan Allah sebagai siar menuju masjid, Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Termasuk sunnah Rasul adalah keluar menuju sholat hari raya dengan berjalan kaki. Hadits hasan riwayat Tirmidzi.

#5. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang sholat id sebagai mana hadist nabi saw Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada hari raya biasanya mengambil jalan yang berlainan. Dikeluarkan oleh Bukhari.

#6. Dianjurkan untuk mengajak Sholat Id semua wanita yang haid sebagaimana hadist Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami diperintahkan mengajak keluar gadis-gadis dan wanita-wanita haid pada kedua hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, wanita-wanita yang haid itu terpisah dari tempat sholat. Muttafaq Alaihi.

#7. Sampai dimasjid duduk dan ikut bertakbir tanpa ada sholat sebagai mana hadist nabi Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sholat pada hari raya dua rakaat, beliau tidak melakukan sholat sebelum dan setelahnya. Dikeluarkan oleh Imam Tujuh.

#8. Shalat dua rakaat setelah sampai dirumah kembali dari sholat id berdasarkan hadist Dari Abu Said Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melakukan sholat apapun sebelum sholat hari raya, bila beliau kembali ke rumahnya beliau sholat dua rakaat. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad hasan.


Demikan Hukum dan cara sholat idul fitri serta sunah-sunahnya semoga bermanfaat,, Amin ya Robal A’lamain


Tuesday, 20 June 2017

Isi Perjanjian/baiat Aqabah satu dan dua



Latar belakang dan isi Perjanjian/baiat Aqabah satu dan dua

Isi Perjanjian/baiat Aqobah satu dan dua
Apakah Baiat/perjanjian Aqobah itu?, Baiat Aqobah adalah suatu perjanjian sumpah setia yang dilakukan oleh suku Aus dan Khazraj dari yasrib (Madianah) kepada Rasul Muhammad saw untuk setia membela Agama Allah  dan Rasulnya di Aqobah.
  
A. Latar Belakang Perjanian  Aqobah

Kerasnya penolakan dan perlawanan Quraisy, mendorong Nabi Muhammad saw. melancarkan dakwahnya kepada kabilah-kabilah Arab di luar suku Quraisy.

Dalam melakukan dakwah ini, Nabi Muhammad saw. tidak saja menemui mereka di Ka’bah pada saat musim haji, ia juga mendatangi perkampungan dan tempat tinggal para kepala suku.

Tanpa diketahui oleh seorang pun, Nabi Muhammad saw. pergi ke Taif. Di sana ia menemui Saqif dengan harapan agar ia dan  masyarakatnya mau menerimanya dan memeluk Islam. Saqif dan masyarakatnya menolak Nabi dengan kejam.


Meski demikian Nabi berlapang dada dan meminta  Saqif untuk tidak menceritakan kedatangannya ke Taif agar ia tidak mendapat malu dari orang Quraisy. Permintaan itu tidak dihiraukan oleh Saqif, bahkan ia menghasut masyarakatnya untuk mengejek, menyoraki, mengusir, dan melempari Nabi.

Selain itu Nabi mendatangi Bani Kindah, Bani Kalb, Bani Hanifah, dan Bani Amir bin Sa‘sa’ah ke rumah-rumah mereka. Tak seorang pun dari mereka yang mau menyambut dan mendengar dakwah Nabi. Bahkan, Bani Hanifah menolak dengan cara yang sangat buruk.

Amir menunjukkan ambisinya, ia mau menerima ajakan Nabi dengan syarat jika Nabi memperoleh kemenangan, kekuasaan harus  berada di tangannya.

Pengalaman tersebut mendorong Nabi Muhammad saw. Berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi mendapat dukungan dari Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya.

Karena itu, Nabi Muhammad saw. mengalihkan dakwahnya kepada kabilah-kabilah lain yang ada di sekitar Mekah yang datang berziarah setiap tahun ke Mekah. Jika musim ziarah tiba, Nabi Muhammad saw. pun mendatangi kabilah-kabilah itu dan mengajak mereka untuk memeluk Islam.

Tak berapa lama kemudian, tanda-tanda kemenangan datang dari Yasrib (Madinah). Nabi Muhammad saw. sesungguhnya punya hubungan emosional dengan Yasrib.

Disanalah ayahnya dimakamkan, di sana pula terdapat famili-familinya dari Bani Najjar yang merupakan keluarga kakeknya, Abdul Muthalib dari pihak ibu. Karena itu, tidak mengherankan apabila di tempat ini kelak Nabi Muhammad saw. mendapat kemenangan dan Islam berkembang dengan amat pesat.

B. Kondisi Yasrib sebelum Nabi Hijrah

Yasrib merupakan kota yang dihuni oleh orang Yahudi dan Arab dari suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini selalu berperang merebut kekuasaan. Hubungan Aus dan Khazraj dengan Yahudi membuat mereka memiliki pengetahuan tentang agama samawi.

Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kedua suku Arab tersebut lebih mudah menerima kehadiran Nabi Muhammad saw. Ketika Yahudi mengalami kekalahan, suku Aus dan Khazraj menjadi penguasa di Ya¡rib.

Yahudi tidak tinggal diam, mereka berusaha mengadu domba Aus dan Khazraj yang akhirnya menimbulkan perang saudara yang dimenangkan oleh Aus.

Sejak saat itu, orang-orang Yahudi yang sebelumnya terusir dapat kembali tinggal di Ya¡rib. Aus dan Khazraj menyadari derita dan kerugian yang mereka alami akibat permusuhan mereka. Oleh karena itu, mereka sepakat mengangkat Abdullah bin Muhammad dari suku Khazraj sebagai pemimpin.

Namun, hal itu tidak terlaksana disebabkan beberapa orang Khazraj pergi ke Mekah pada musim ziarah (haji). Kedatangan orang-orang Khazraj ke Mekah diketahui oleh Nabi Muhammad saw., dan ia pun segera menemui mereka.

Setelah Nabi berbicara dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam, mereka pun saling berpandangan dan salah seorang dari mereka berkata,“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan oleh orang-orang Yahudi kepada kita, dan jangan sampai mereka (Yahudi) mendahului kita.”

Setelah itu, mereka kembali ke Ya¡rib dan menyampaikan berita kenabian Muhammad saw.. Mereka menyatakan kepada masyarakatnya bahwa mereka telah menganut Islam. Berita dan pernyataan yang mereka sampaikan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat.

C. Perjanjian Aqobah pertama

Pada musim ziarah tahun berikutnya, datanglah 12 orang penduduk Ya¡rib menemui Nabi Muhammad saw. di Aqabah. Di tempat ini mereka berikrar kepada Nabi yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Aqabah I.

Pada Perjanjian Aqabah I ini, orang-orang Yasrib berjanji  kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depan atau di belakang, jangan menolak berbuat kebaikan. Siapa mematuhi semua itu akan mendapat pahala surga dan kalau ada yang melanggar, persoalannya kembali kepada Allah Swt.


D. Perjanjian/baiat  Aqobah kedua

Selanjutnya, Nabi menugaskan Mus’ab bin Umair untuk membacakan al-Qurān, mengajarkan Islam serta seluk-beluk agama Islam kepada penduduk Yasrib. Sejak itu, Mus’ab tinggal di Ya¡rib. Jika musim ziarah tiba, ia berangkat ke Mekah dan menemui Nabi Muhammad saw.

Dalam pertemuan itu, Mus’ab menceritakan perkembangan masyarakat muslim Ya¡rib yang tangguh dan kuat. Berita ini sungguh menggembirakan Nabi dan menimbulkan keinginan dalam hati Nabi untuk hijrah ke sana.

Pada tahun 622 M, peziarah Ya¡rib yang datang ke Mekah berjumlah 75 orang, dua orang di antaranya perempuan. Kesempatan ini digunakan Nabi melakukan pertemuan rahasia dengan para pemimpin mereka. Pertemuan Nabi dengan para pemimpin Ya¡rib yang berziarah ke Mekah disepakati di Aqabah pada tengah malam pada hari-hari Tasyriq (tidak sama dengan hari Tasyriq yang sekarang).

Malam itu, Nabi Muhammad saw. ditemani oleh pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib (yang masih memeluk agama nenek moyangnya) menemui orang-orang Ya¡rib. Pertemuan malam itu kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Perjanjian Aqabah II.

Pada malam itu, mereka berikrar kepada Nabi sebagai berikut, “Kami berikrar, bahwa kami sudah mendengar dan setia di waktu suka dan duka, diwaktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan di jalan Allah Swt. ini kami tidak gentar terhadap ejekan dan celaan siapapun.”

Setelah masyarakat Ya¡rib menyatakan ikrar mereka, Nabi berkata kepada mereka, “Pilihkan buat saya dua belas orang pemimpin dari kalangan kalian yang menjadi penanggung jawab masyarakatnya”. Mereka memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus.

Kepada dua belas orang itu, Nabi mengatakan, “Kalian adalah penanggung jawab masyarakat kalian seperti pertangungjawaban pengikut-pengikut Isa bin Maryam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertangung jawab.”

Setelah ikrar selesai, tiba-tiba terdengar teriakan yang ditujukan kepada kaum Quraisy, “Muhammad dan orang-orang murtad itu sudah berkumpul akan memerangi kamu!”. Semua kaget dan terdiam.

Tiba-tiba Abbas bin Ubadah, salah seorang peserta ikrar, berkata kepada Nabi, “Demi Allah Swt. yang mengutus Anda berdasarkan kebenaran, jika Nabi mengizinkan, besok penduduk Mina akan kami ‘habisi’ dengan pedang kami.”

Lalu, Nabi Muhammad saw. menjawab, “Kita tidak diperintahkan untuk itu, kembalilah ke kemah kalian!” Keesokan harinya, mereka bangun pagi-pagi sekali dan segera bergegas pulang ke Ya¡rib.


Demikan materi latar belakang dan isi Perjanjian Aqobah satu dan dua antara Nabi Muhammad dengan suku Aus dan Khazraj dari Madinah.semoga bermanfaat.


Arti dan asal mula serta tujuan Halal bi Halal




arti dan asal usul serta tujuan halal bi halal
Arti dan asal mula serta Halal bi Halal, Halal bi halal sering dikaitkan dengan Idul   fitri, apakah  halal bi  halal itu?, kapan pertama kali dilaksanakan halal bi halal?, dan apakah tujuan atau gunanya halal bi halal itu?, inilah yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini.

Arti Halal bi Halal

Apakah halal bi  halal itu?, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang.

Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturrahmi.

Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”.

Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya,

meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal.

Oleh sebab itu, maka makna filosofis Halal bi Halal berdasarkan teori izhmâr tadi dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.

Atau dengan analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Ada sementara kalangan yang enggan menamainya dengan istilah Halal bi Halal, dikarenakan menurut mereka, istilah itu secara gramatika Bahasa Arab tidak benar.

Bahkan ada sementara kalangan yang menentang kegiatan ini apabila isinya adalah kegiatan saling memafkan, dengan alasan bahwa mengkhususkan maaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu tidak dibenarkan secara syariat (bid'ah).

Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab,  istilah Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli made in Indonesia dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya, namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic.

Dalam ilmu Bahasa Arab sering dijumpai teori izhmâr (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan pendekatan teori tersebut.

Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, halâl "yujza'u" bi halâl; kehalalan dibalas dengan kehalalan.

Untuk yang kedua ini hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum qishâs "anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini; sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata" (QS. Al-Maidah: 45).

Dalam redaksi ayat tersebut, mufasir biasanya memahaminya dengan teori izhmâr, menjadi: anna al-nafsa "tuqtalu" bi al-nafsi, wa al-'aina "tufqa'u" bi al-'aini. Hanya bedanya kalau Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif.

Merujuk kepada keterangan Prof Dr Quraish Shihab, bahwa istilah Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa.

Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa.

Dengan demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.

Namun tinjauan hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan Halal bi Halal itu sendiri yang merupakan untuk mengharmoniskan hubungan. Karena dalam bagian halal terdapat hukum makruh, tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti menceraikan isteri yang justru lepas dari tujuan mengharmoniskan hubungan.

Asal Mula Halal Bi  Halal 

Sangat sulit menentukan awal mula tradisi Halal bi Halal ini digelar. Drs H Ibnu Djarir menulis bahwa sejarah dimulainya Halal bi Halal ada banyak versi.

Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh KGPAA Mangkunegara I, yang masyhur dipanggil Pangeran Sambernyawa.

Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, fikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu.

Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.

Tujuan Halal  bi Halal

Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang sifatnya syar'i, dalam artian bahwa eksistensinya memang ditetapkan oleh syariat. Lain halnya dengan Halal bi Halal yang status syar'i-nya masih debatable di kalangan ulama,

karena ia merupakan produk asli Indonesia baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya. Namun demikian, semuanya menyadari bahwa tujuan Halal bi Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan.

Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam. Setiap saat kaum Muslim harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Jadi tidak terbatas saat Idul Fitri saja.

Bahkan secara tegas Allah Swt. akan melaknat orang yang memutuskan tali persaudaraan (QS. Muhammad(47): 22-23).

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Artinya : 22). “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? 23). Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”.

Rasulullah juga menyabdakan yang artinya, "Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan" (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).

Betapa pentingnya memelihara hubungan persaudaraan agar tidak kusut, sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya menegaskan laknat besar sebagai ganjaran bagi pemutus tali silaturrahmi.

Bahkan urgensitasnya tampak begitu jelas manakala memelihara silaturrahmi ini dikaitkan dengan keimanan seorang Muslim. Seperti dalam hadits, "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi " (HR. Al-Bukhari).

Kegiatan ini juga sangat banyak nilai positifnya bagi kehidupan duniawi. Rasulullah menyabdakan, "Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).


Oleh sebab itu, dalam dunia karier pun manusia tak bisa lepas dari ketergantungan relasi dan partner. Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan.

Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal. Paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi perhatian khusus untuk ber-silaturrahmi dan saling memafkan bagi semua pihak.

Ketimbang jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin kesibukan akan meleburkan perhatian mereka akan pentingnya ber-silaturrahmi. Saling maaf-memaafkan pada saat Idul Fitri dan Halal bi Halal bukan berarti mengkhususkan maaf hanya pada momen itu saja. Terlebih dikatakan sebagai menambah-namabahi syariat (bid'ah).

Yang terpenting adalah Muslimin meyakini bahwa saling memaafkan tidak memiliki batas waktu. Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan silaturrahmi hanya berlaku saat Idul Fitri atau Halal bi Halal saja, itulah yang salah secara syariat.

Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah,

dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya.

Setelah manusia berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa sebulan penuh; mengabdikan diri kepada-Nya. Maka pada momen Idul Fitri dan Halal bi Halal, giliran mereka meneguhkan kesadaran persaudaraan antar sesama dengan saling memafkan dan berbagi keceriaan.

Aktivitas ini sangat indah sebagaimana diisyaratkan surat Al-Hajj(22) ayat 77,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya  "Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan".

Dan surat Al-A'raf(7) ayat 199, 

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Artinya :"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh".

Maka, Halal bi Halal meskipun asli kelahiran Indonesia, namun esensinya tetap Islami. Demikan Arti dan asal mula serta tujuan Halal bi Halal, semoga bermanfaat, aamiiin  



Sumber :
Pandi Yusron (Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff, Yaman)