arti dan asal usul serta tujuan halal bi halal |
Arti dan asal
mula serta Halal bi Halal, Halal bi halal
sering dikaitkan dengan Idul fitri,
apakah halal bi halal itu?, kapan pertama kali dilaksanakan
halal bi halal?, dan apakah tujuan atau gunanya halal bi halal itu?, inilah
yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini.
Arti
Halal bi Halal
Apakah halal
bi halal itu?, Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah
menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh
sekelompok orang.
Ensiklopedi
Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang
tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah
silaturrahmi.
Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”.
Bahkan jika
langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti
“mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu
aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan
saudaranya,
meluruskan
hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan
memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan
seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal.
Oleh sebab itu, maka makna filosofis Halal bi Halal berdasarkan teori izhmâr tadi dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Atau dengan
analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah: pembebasan
kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling
memaafkan.
Ada sementara
kalangan yang enggan menamainya dengan istilah Halal bi Halal, dikarenakan
menurut mereka, istilah itu secara gramatika Bahasa Arab tidak benar.
Bahkan ada
sementara kalangan yang menentang kegiatan ini apabila isinya adalah kegiatan
saling memafkan, dengan alasan bahwa mengkhususkan maaf hanya pada Hari Raya
Idul Fitri itu tidak dibenarkan secara syariat (bid'ah).
Jika ditinjau
secara etimologis Bahasa Arab, istilah
Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli made in
Indonesia dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya,
namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic.
Dalam ilmu
Bahasa Arab sering dijumpai teori izhmâr (sisipan spekulatif pada kalimat).
Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa
dengan pendekatan teori tersebut.
Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, halâl "yujza'u" bi halâl; kehalalan dibalas dengan kehalalan.
Untuk yang
kedua ini hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum
qishâs "anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini; sesungguhnya
jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata" (QS. Al-Maidah:
45).
Dalam redaksi ayat tersebut, mufasir biasanya memahaminya dengan teori izhmâr, menjadi: anna al-nafsa "tuqtalu" bi al-nafsi, wa al-'aina "tufqa'u" bi al-'aini. Hanya bedanya kalau Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif.
Merujuk kepada
keterangan Prof Dr Quraish Shihab, bahwa istilah Halal bi Halal adalah bentuk
kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan
sisi bahasa.
Pada tinjauan
hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang
dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak
mengundang dosa.
Dengan
demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang
tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Namun tinjauan hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan Halal bi Halal itu sendiri yang merupakan untuk mengharmoniskan hubungan. Karena dalam bagian halal terdapat hukum makruh, tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti menceraikan isteri yang justru lepas dari tujuan mengharmoniskan hubungan.
Asal Mula Halal Bi Halal
Sangat sulit
menentukan awal mula tradisi Halal bi Halal ini digelar. Drs H Ibnu Djarir
menulis bahwa sejarah dimulainya Halal bi Halal ada banyak versi.
Menurut sebuah
sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh
KGPAA Mangkunegara I, yang masyhur dipanggil Pangeran Sambernyawa.
Dalam rangka
menghemat waktu, tenaga, fikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri
diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada
raja dan permaisuri.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu.
Kegiatan ini
mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan
tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari
berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Tujuan Halal bi Halal
Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang sifatnya syar'i, dalam artian bahwa eksistensinya memang ditetapkan oleh syariat. Lain halnya dengan Halal bi Halal yang status syar'i-nya masih debatable di kalangan ulama,
karena ia
merupakan produk asli Indonesia baik sisi penamaannya maupun cara
pelaksanaannya. Namun demikian, semuanya menyadari bahwa tujuan Halal bi Halal
adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan.
Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam. Setiap saat kaum Muslim harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Jadi tidak terbatas saat Idul Fitri saja.
Bahkan secara
tegas Allah Swt. akan melaknat orang yang memutuskan tali persaudaraan (QS.
Muhammad(47): 22-23).
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ
وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى
أَبْصَارَهُمْ
Artinya
: 22). “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan
di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? 23). Mereka itulah
orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka”.
Rasulullah juga
menyabdakan yang artinya, "Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk
disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan
memutuskan tali persaudaraan" (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).
Betapa pentingnya memelihara hubungan persaudaraan agar tidak kusut, sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya menegaskan laknat besar sebagai ganjaran bagi pemutus tali silaturrahmi.
Bahkan
urgensitasnya tampak begitu jelas manakala memelihara silaturrahmi ini
dikaitkan dengan keimanan seorang Muslim. Seperti dalam hadits, "Siapa
saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali
silaturrahmi " (HR. Al-Bukhari).
Kegiatan ini
juga sangat banyak nilai positifnya bagi kehidupan duniawi. Rasulullah
menyabdakan, "Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan
pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan" (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Oleh sebab itu, dalam dunia karier pun manusia tak bisa lepas dari ketergantungan relasi dan partner. Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan.
Aktivitas
manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat,
sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal. Paling tidak agar acara tahunan
itu benar-benar menjadi perhatian khusus untuk ber-silaturrahmi dan saling
memafkan bagi semua pihak.
Ketimbang
jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin kesibukan akan meleburkan
perhatian mereka akan pentingnya ber-silaturrahmi. Saling maaf-memaafkan pada
saat Idul Fitri dan Halal bi Halal bukan berarti mengkhususkan maaf hanya pada
momen itu saja. Terlebih dikatakan sebagai menambah-namabahi syariat (bid'ah).
Yang terpenting
adalah Muslimin meyakini bahwa saling memaafkan tidak memiliki batas waktu.
Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan silaturrahmi hanya berlaku saat
Idul Fitri atau Halal bi Halal saja, itulah yang salah secara syariat.
Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah,
dengan catatan
tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh
tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya.
Setelah manusia berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa sebulan penuh; mengabdikan diri kepada-Nya. Maka pada momen Idul Fitri dan Halal bi Halal, giliran mereka meneguhkan kesadaran persaudaraan antar sesama dengan saling memafkan dan berbagi keceriaan.
Setelah manusia berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa sebulan penuh; mengabdikan diri kepada-Nya. Maka pada momen Idul Fitri dan Halal bi Halal, giliran mereka meneguhkan kesadaran persaudaraan antar sesama dengan saling memafkan dan berbagi keceriaan.
Aktivitas ini
sangat indah sebagaimana diisyaratkan surat Al-Hajj(22) ayat 77,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا
رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya "Hai orang-orang yang beriman, rukuklah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu
mendapat kemenangan".
Dan surat Al-A'raf(7)
ayat 199,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya :"Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh".
Maka, Halal bi Halal meskipun asli kelahiran Indonesia, namun esensinya tetap Islami. Demikan Arti dan asal mula serta tujuan Halal bi Halal, semoga bermanfaat, aamiiin
Sumber :
Pandi Yusron
(Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff, Yaman)