Peristiwa Hijrah Kaum Muslimin dari Mekah
ke Habsyi dan ke Madinah
1. Hijrah ke Abisinia (Habsyi)
Peristiwa hijrah ke Habsyi dan Madinah |
Untuk menghindari bahaya penyiksaan, Nabi
Muhammad saw. menyarankan para pengikutnya untuk hijrah ke Abisinia
(Habsyi). Para sahabat pergi ke Abisinia dengan dua kali hijrah.
Hijrah pertama sebanyak 15 orang; sebelas orang
laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi
dan sesampainya di sana, mereka mendapatkan perlindungan yang baik dari Najasyi
(sebutan untuk Raja Abisinia).
Ketika mendengar keadaan Mekah telah
aman, mereka pun kembali lagi. Namun, mereka kembali mendapatkan siksaan
melebihi dari sebelumnya. Karena itu, mereka kembali hijrah untuk yang
kedua kalinya ke Abisinia (tahun kelima dari kenabian atau tahun 615 M).
Kali ini mereka berangkat sebanyak 80
orang lakilaki, dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib. Mereka tinggal di sana
hingga sesudah Nabi hijrah ke Ya¡rib (Madinah). Peristiwa hijrah ke
Abisinia ini dipandang sebagai hijrah pertama dalam Islam.
Peristiwa hijrah ke Abisinia ini
sungguh tidak menyenangkan kaum Quraisy dan menimbulkan kekhawatiran yang
sangat besar. Ada dua hal yang dikhawatirkan oleh kaum Quraisy, yaitu:
pertama, kaum muslimin akan dapat menjalin
hubungan yang luas dengan masyarakat Arab; kedua, kaum muslimin akan menjadi
kuat dan kembali ke Mekah untuk menuntut balas.
Oleh karena itu, mereka mengutus Amr bin
‘Ash dan Abdullah bin Rabi’ah kepada Najasyi agar mau menyerahkan kaum muslimin
yang berhijrah ke sana. Dengan mempersembahkan hadiah yang besar kepada
Najasyi,
kedua utusan itu berkata, “Paduka Raja,
mereka yang datang ke negeri tuan ini adalah budak-budak kami yang tidak punya
malu. Mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka dan tidak pula menganut
agama Paduka (Kristen);
mereka membawa agama yang mereka ciptakan
sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga Paduka. Kami diutus oleh
pemimpin-pemimpin mereka, orang-orang tua mereka, paman-paman mereka, dan keluarga-keluarga
mereka
supaya Paduka sudi mengembalikan
orang-orang itu kepada pemimpin-pemimpin kami. Mereka lebih tahu betapa
orang-orang itu mencemarkan dan mencerca agama mereka.”
Najasyi kemudian memanggil kaum muslimin
dan bertanya kepada mereka, “Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan
meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri?”
Kaum muslimin yang diwakili oleh Ja’far
bin Abi Thalib menjawab, “Paduka Raja, masyarakat kami masyarakat yang bodoh,
menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan berbagai macam kejahatan,
memutuskan hubungan dengan kerabat, tidak baik dengan tetangga;
yang kuat menindas yang lemah.
Demikianlah keadaan masyarakat kami hingga Allah Swt. mengutus seorang rasul
dari kalangan kami sendiri yang kami kenal asal usulnya, jujur, dapat
dipercaya, dan bersih.
Ia mengajak kami hanya menyembah kepada
Allah Swt. Yang Maha Esa, meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama
ini kami dan nenek moyang kami sembah.
Ia melarang kami berdusta, menganjurkan
untuk berlaku jujur, menjalin hubungan kekerabatan, bersikap baik kepada
tetangga, dan menghentikan pertumpahan darah. Ia melarang kami melakukan segala
perbuatan jahat, menggunakan kata-kata dusta dan keji, memakan harta anak
yatim, dan mencemarkan nama baik perempuan yang tak bersalah.
Ia meminta kami menyembah Allah Swt. dan
tidak mempersekutukan-Nya. Jadi, yang kami sembah hanya Allah Swt. Yang
Tunggal, tidak mempersekutukan- Nya dengan apa dan siapa pun.
Segala yang diharamkan kami jauhi dan
yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah kami dimusuhi, dipaksa meninggalkan
agama kami. Karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, kami pun
keluar menuju negeri Paduka ini.
Padukalah yang menjadi pilihan kami.
Senang sekali kami berada di dekat Paduka, dengan harapan di sini tidak ada
penganiayaan”.
Mendengar pernyataan yang demikian fasih
dan santun, akhirnya Raja Najasyi memberikan perlindungan kepada kaum
muslimin hingga kemudian mereka hidup untuk beberapa lama di negeri yang jauh
dari tanah kelahirannya.
2. Hijrah ke Madinah
Peristiwa Ikrar Aqabah II (Baiatul Aqobah) ini
diketahui oleh orang-orang Quraisy. Sejak itu tekanan, intimidasi, dan siksaan
terhadap kaum muslimin makin meningkat.
Kenyataaan ini mendorong Nabi segera
memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Ya¡rib. Dalam waktu dua
bulan saja, hampir semua kaum muslimin, sekitar 150 orang telah berangkat ke
Ya¡rib. Hanya Abu bakar dan Ali yang masih menjaga dan membela Nabi di Mekah.
Akhirnya, Nabi pun hijrah setelah
mendengar rencana Quraisy yang ingin membunuhnya. Nabi Muhammad saw. dengan
ditemani oleh Abu Bakar berhijrah ke Ya¡rib.
Sesampai di Quba, 5 km dari Ya¡rib, Nabi
beristirahat dan tinggal disana selama beberapa hari. Nabi menginap di rumah
Umi Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi membangun sebuah masjid.
Inilah masjid pertama yang dibangun pada masa Islam yang kemudian dikenal
dengan Masjid Quba.
Tak lama kemudian, Ali datang menyusul
setelah menyelesaikan amanah yang diserahkan Nabi kepadanya pada saat berangkat
hijrah. Ketika Nabi memasuki Ya¡rib, ia dielu-elukan oleh penduduk kota itu dan
menyambut kedatangannya dengan penuh kegembiraan.
Sejak itu, nama Ya¡rib diganti dengan Madinatun
Nabi (Kota Nabi) atau sering pula disebut dengan Madinatun Munawwarah (Kota
yang Bercahaya). Dikatakan demikian karena memang dari sanalah sinar Islam
memancar ke seluruh penjuru dunia.
Demikan Peristiwa Hijrah Kaum Muslimin dari Mekah
ke Habsyi dan ke Madinah selah baiatul aqbah, semoga bermanfaat,
Baca Juga : Peristiwa dan Isi baiatul Aqobah
Sumber :
Buku Diknas Pendidikan Agama islam dan
budi pekerti K-13 SMA/MA/SMK Kelas X